News  

Reposisi Media Dalam Terorisme Modern

Latar Belakang Permasalahan
Tahun 2020 akan tercatat dalam sejarah sebagai tahun titik balik. Sulit untuk memprediksi di mana poros global akan berada, namun, satu hal yang jelas apa yang dulu tidak akan ada lagi.

Tantangan perawatan kesehatan dan ekonomi akan berubah, pariwisata, pekerjaan, dan rutinitas sehari-hari akan berubah, hubungan internasional, bilateral dan multilateral akan berubah dan demikian pula tantangan keamanan dan kontraterorisme akan dibentuk sesuai dengan itu. Pandemi COVID-19 telah memberikan pengaruh besar di atas serta banyak proses global lainnya.

Mengingat COVID-19 merupakan awal babak baru dari konstalasi global yang tidak biasa. Baik kepada kehidupan manusia maupun interaksi pada antarkelembagaan/ Negara serta ekonomi sebagai targetnya. Dalam perspektif hubungan internasional pandemi kesehatan seakan menjadi pelengkap deglobalisasi sejak beberapa dekade terakhir.

Negara tidak punya pilihan selain untuk menerima fakta bahwa wabah ini mengacu terhadap kelangsungan peradaban. Berdasarkan dari beberapa pertimbangan tersebut muncul harapan bahwa COVID-19 pada akhirnya akan mendorong seluruh elemen negara untuk mengesampingkan perbedaan mereka dan melakukan apa yang mereka mampu perjuangkan untuk melawan COVID-19.

Saat ini persaingan kekuasaan (perdagangan) antar negara lewat perebutan wilayah, kepercayaan atau resources (glory,gospel,gold) tidak melalui konfrontasi secara fisik semata, muncul wacana. Apakah pandemi Covid-19 dapat menjadi titik balik perubahan pada konstalasi geopolitik dunia?

Di tengah pandemi wabah COVID-19 ini kemungkinan terdapat juga sebuah jualan industry ideology, saat ini dalam konteks geopolitik isu-isu politik lama dunia kembali menghangat lagi. Terekam pada frame “blok barat” dan “blok timur”.

Contoh yang terangkum dalam narasi yang disematkan adalah bagaimana sistem pemerintahan di china yang otoriter yang mana telah menyebabkan awal mula pandemi karena kurang dapatnya transparansi informasi namun disisi lainnya sistem pemerintahannya terlihat paling mampu dengan cepat menahan meluasnya dampak pandemi begitupula sebaliknya.

Secara geopolitis inisiasi suatu negara pada kemampuannya untuk membuat negara lain mengadopsi system negara asalnya mereka, baik itu fitur-fitur teknologi, infrastruktur ataubahkan ideologi akan membawanya mampu unggul dalam persaingan. Pola perspektif lainnya bagi siapa saja negara yang berhasil diadopsi system mereka dalam bentuk apapun baik dari aspek kebijakan dan pengetahuan dan sebagainya akan memenangkan lebih banyak pengaruh di level internasional.

Fase Awal Yang Terbarukan
Dari perspektif David C. Rapoport menyebut “Empat Gelombang Terorisme Modern,” adalah salah satunya teori yang paling berpengaruh dan diperdebatkan secara luas di bidang studi terorisme. dalam nya, Rapoport menguraikan sistem gelombang yang memetakan sejarah modern terorisme sejak akhir abad ke-19.

Lebih penting lagi untuk tujuan kita, fenomena kompleks terorisme dan meletakkannya dalam konteks sejarah yang tidak hanya menjelaskan periode yang berbeda dari terorisme internasional, tetapi juga menetapkan teori dan konsep yang dapat digunakan untuk mencoba mengantisipasi masa depan terorisme.

Sebelumnya pola kekerasan politik yang tidak dapat dibedakan dikelompokkan menjadi empat gelombang berbeda, asumsi dasarnya telah menginspirasi ideologi yang berasal dari anarkisme, anti-kolonialisme, sosialisme, dan agama fundamentalisme.

Pendekatan teori ini merupakan hal yang unik untuk dikaji secara sejarah modern actor-actor terkait baik non-state pun state actornya dan menempatkan tindakan mereka dalam konteks yang lebih luas lagi, mencoba mengalihkan penekanan dari model konvensional konflik antar negara dan ketegangan berbasis negara (Barry Buzan: People,State and Fear,2007).

Penerapannya dari pemahaman yang tertib dan berbasis bukti tentang terorisme, identitas nasional, dan politik legitimasi mungkin merupakan senjata paling efektif yang dapat kita gunakan dalam ‘perang melawan terorisme apa pun sekarang atau di masa depan.

Setiap gelombang dipandang sebagai metafora untuk menunjukkan konektivitas antara kelompok teroris internasional pada era tertentu dan didefinisikan oleh tiga karakteristik: siklus aktivitas dalam periode waktu tertentu yang menunjukkan fase ekspansi dan kontraksi, karakter internasional, dan energi dominan yang mendorong dan membentuk kelompok karakteristik dan hubungan.

Adanya paradigma baru untuk memahami evolusi teroris modern serta organisasinya menunjukan sebuah prediksi seperti apa ancaman di masa depan sebagai manifestasi politik secara masif.

Teroris sering memanfaatkan polarisasi dalam masyarakat untuk mencemari iklim sosial dengan ideologi kekerasan untuk menimbulkan rasa takut secara komperhensif sehingga mencapai tujuan tertentu. Kriteria untuk mengukur keberhasilan langsung atau tidak langsung terorisme adalah “Terorisme bisa disebut berhasil jika mereka mencapai jumlah korban yang tinggi.

Dilihat dari sisi politis publik juga harus melihat tingkat ketakutan dari liputan media. Mungkin ini bukan tujuan itu sendiri, tapi hal tersebut menjadi perantara yang penting. Tanpa atensi tersebut dan tanpa tingkat ketakutan itu, tujuan politik pasti tidak akan datang (Edwin Bakker:Terrorism and Counterterrorism Studies:Comparing Therory and Practice,2015)”.

Banyak pendapat mengakui bahwa upaya untuk mendefinisikan apa itu dikenal sebagai terorisme hanya akan menemukan perspektif yang berbeda. Meskipun demikian, ini adalah tahap penting untuk membangun platform agar kata terorisme menjadi jelas dan dapat dimengerti, khususnya pada karakteristiknya.

Setidaknya ada beberapa definisi terorisme yang ditawarkan yang digunakan di seluruh dunia, di antaranya digunakan oleh pemerintah dan yang lainnya oleh institusi (Simon, 1994: 29). Meski kelihatannya juga banyak, terorisme pada umumnya mempunyai beberapa karakteristik. Pertama, terorisme merupakan tindakan rasional yang menggunakan kekerasan atau ancaman secara kekerasan.

Hal ini bertujuan untuk mencapai tujuan politik tertentu dan motivasi yang lebih sekuler. Semisalnya, mengacu dari definisi Paul Wilkinson (2002: 12) saat ia menegaskan “terorisme adalah penggunaan sistematis intimidasi koersif, biasanya untuk tujuan politik.” Selama satu abad terakhir, aksi terorisme umumnya dimotivasi oleh Marxisme, separatisme, etno nasionalisme, dan secara terbatas agama (Rapoport, 2003).

Dalam beberapa tahun terakhir, polarisasi wacana politik telah meningkat di Uni Eropa. Pandemi COVID-19 semakin mempercepat perkembangan ini. Terjadi peningkatan yang mencolok dalam intoleransi terhadap lawan politik, sementara jumlah individu yang melakukan kekerasan verbal atau fisik juga meningkat. Kesehatan mental tetap menjadi masalah dalam kaitannya dengan terorisme dan ekstremisme kekerasan.

Situasi yang diciptakan oleh pandemi mungkin menjadi faktor stres tambahan, yang berpotensi mendorong individu yang rentan untuk beralih ke kekerasan. Ekstremis dan teroris telah menemukan peluang baru dalam peningkatan waktu yang dihabiskan untuk online selama pandemi COVID-19.

Dengan banyaknya disinformasi yang secara aktif disebarluaskan secara online, para ekstremis dan teroris telah mengeksploitasi ketidakpuasan sosial untuk menjangkau dan menyebarkan ideologi mereka.

Dalam dunia terorisme yang dinamis telah banyak hal yang dipertimbangkan oleh analis terorisme, politisi, serta pakar keamanan sejak tahun 1990-an mengembangkan pemikiran-pemikirannya.

Dalam bukunya yang terkenal The New Terrorism, Walter Laqueur (1999) dengan jelas menyatakan bahwa “telah terjadi transformasi radikal, jika bukan revolusi, dalam karakter terorisme.”

Hoffman (1998) menjelaskan lebih lanjut dengan memberikan petunjuk bahwa terorisme baru “mewakili yang sangat berbeda” dan ancaman mematikan yang berpotensi lebih besar daripada ‘kelompok teroris tradisional’ yang lebih dikenal secara umum, gagasan ini mencerminkan satu kesimpulan khusus bahwa pola terorisme di abad ke-21 telah berkembang. Ini memiliki karakteristik baru. Ini bisa dilihat dari motivasi, taktik, juga sebagai kemampuan mereka yang terlibat termasuk pengetahuan teknologi dan struktur organisasi mereka.

Terorisme telah dikaitkan dengan beberapa hal yang disebut “akar penyebab” yang telah mempromosikan jenis kekerasan politik lainnya seperti kerusuhan dan protes jalanan, revolusi perang saudara, dan konflik bersenjata internasional. Beberapa kemungkinan akar penyebabnya adalah kemiskinan, rezim otoriter dan represif, atau praktik budaya dan agama.

Namun, sebagian besar penelitian yang menganalisis hubungan di antara mereka dari berbagai variabel sosiologis dan kampanye teroris yang tidak berdasar (Crenshaw, 1995;Laqueur,2003; De la Corte, 2006). Mengklasifikasikan hal tersebut menjadi sulit karena terorisme biasanya ditimbulkan oleh minoritas dan perspektif teroris sering kali melibatkan distorsi realitas sosial yang cukup rumit.

Peran Sentris Media
Apa yang akan terjadi jika media tidak membuat referensi terhadap terorisme? tentu saja media sangat penting bagi kelompok teroris karena mereka menyediakan sarana untuk menarik perhatian dan menyebarkan pesannya. Berkaca pada terorisme sebagai strategi komunikasi, media sering dianggap sebagai ‘kaki tangan’ teroris atau bahkan ‘sahabat’ mereka karena mereka tampaknya memberikan ‘oksigen publisitas’.

Namun memiliki juga telah dicatat bahwa teroris menyediakan media dengan berita emosional, menarik dan dramatisir yang membantu mereka menjual produk mereka. Oleh karena itu, ada saling menguntungkan untuk keduanya dan hubungan tersebut dapat digambarkan sebagai ‘simbiosis mutualisme’. Namun pada saat yang sama, media juga dapat memainkan peran penting dalam melawan terorisme.

Hal ini menggambarkan bagaimana media mendominasi masyarakat Secara umum sebagai sumber informasi tentang banyak hal yang merupakan inti dari seluruh perspektif tentang apa yang membuat terorisme itu sendiri.

Hubungan antara terorisme dan media diteliti dengan baik dan telah menjadi salah satu pertanyaan sentral yang diperjuangkan oleh penelitian dengan adanya pesan yang diterima secara luas bahwa ada hubungan yang “harmonis” antara terorisme dan media karena terorisme menyediakan hal-hal yang menarik dan cerita kekerasan yang membantu menjual produk berita dan media menyediakan kelompok teroris dengan sarana menyebarkan pesan mereka dan menciptakan ketakutan kalangan masyarakat umum.

Media sebagai garda terdepan sebuah informasi publik, sebagai sumber informasi yang banyak digunakan ditengah masyarakat umum era modern adalah inti dari seluruh hal tentang membuat terorisme menjadi sebuah kenyataan. Yaitu penyebaran teror dan persepsi publik tentang ketidakamanan dan ketidak nyamanan sertak ketidak sejahteraan dengan menunjukkan korelasi antara terorisme di media dan perhatian publik, propaganda tersebut dibuat menjadi sebuah hal yang realistis/logis.

Terorisme pada dasarnya menggunakan media dalam tiga cara: pertama, terorisme berusaha untuk mendapatkan perhatian publik, kedua, dengan demikian, mencoba untuk mendapatkan simpati untuk penyebabnya dan, ketiga, terorisme bertujuan untuk menyebarkan kekhawatiran dan teror di masyarakat umum dan dengan demikian berdampak perubahan politik. dari ketiga strategi ini hanya dua yang umumnya berhasil.

Terorisme 4.0 di Indonesia
Di Indonesia terdapat salah satu fenomena yang sangat menonjol di media sosial sejak selesainya Pemilihan Presiden tahun 2014 hingga memasuki Pemilihan Presiden kembali di tahun 2019 adalah labelisasi cebong untuk para pendukung Joko Widodo dan kampret untuk pendukung Prabowo Subianto.

Hal tersebut mengacu pada sebutan cebong dan kampret dari awal dilakukan warganet untuk mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat dan labelisasi semacam ini cukup menghangatkan situasi politik menjelang Pemilihan Umum (Stefanie, 2018).

Jika kita berselancar di media sosial, baik Facebook, Instagram, atau Twitter, adu argumentasi yang tidak bertepi antara ke-dua kubu sudah dianggap biasa, selain melabeli nama hewan cebong dan kampret menjadi fenomena politik khas yang hanya terjadi di Indonesia.

Wawan Masudi Pengamat Politik UGM mengatakan bahwa fenomena politik semacam ini hampir tidak pernah terlihat dalam Pemilihan Umum di negara lain, setidaknya di Australia dan Norwegia (Stefanie, 2018). Kondisi di atas menjadikan masyarakat terpolarisasi secara politik.

Peristiwa persekusi dan penolakan antar kedua kubu cukup sering terdengar dalam pemberitaan media nasional dan menjadi perdebatan publik di ruang maya.

Propaganda ini berlanjut hingga saat ini dengan adanya pandemic Covid-19 ke-2 kubu saling terpolar baik yang mendukung Pemerintahan dengan pihak-pihak atau oknum tidak bertanggung jawab mengenai kegagalan Pemerintah dalam menangani pandemic hingga kaum yang terdiri dari anti vaxx dan lain sebagainya (old terrorism).

Kepala BNPT secara resmi memberikan pernyataannya, selama masa pandemi, grup teroris memaksimalkan aktifitas daring. Mereka aktif melakukan propaganda, proses rekrutmen anggota bahkan soal pendanaan.

“Selama pandemi Covid-19 yang merupakan ancaman keamanan dan ketertiban dunia tidak serta merta menghilang. Justru menciptakan tantangan baru misalnya lewat aktifitas teroris di dunia maya yang semakin masif,” kata Boy saat menjadi pembicara secara virtual pada acara the Second United Nations High-Level Conference of Heads of Counter-Terrorism Agencies of Member States di New York, Rabu (30/6).

“Terdapat aktifitas crowd-funding dalam pendanaan aktifitas teroris. Ini juga jadi ancaman baru di masa pandemi,” jelasnya.

Contoh konkrit terorisme era baru adalah ketika Mohamed Morsi dan Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) Ikhwanul Muslimin berkuasa pada 30 Juni 2012, banyak yang memujinya sebagai momen penting dalam transisi baru Mesir menuju demokrasi yang akan memenuhi janji revolusinya pada 2011 yang akhirnya terjadi kudeta tepat setahun setelahnya.

“Media menjadi tempat pertikaian dan polarisasi politik selama transisi 2011-2013,” kata Dr Dounia Mahlouly, Dosen dan Peneliti Utama di Pusat Media dan Komunikasi Global di SOAS.

“Beberapa slogan politik mudah dimainkan oleh lawan, dan beberapa partai dan aktor politik juga menggunakan agen online untuk mendiskreditkan lawan atau menyebarkan desas-desus,” katanya kepada TRT World.

Terorisme dapat terjadi tanpa melihat situasi dan kondisi, khususnya dalam masa pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia saat ini. Terdapat alasan dan modus bagaimana terorisme dapat berkembang sebagaimana layaknya situasi normal di masa lalu.

Aktivitas kelompok terror di Indonesia selama pandemic Covid-19, ada beberapa respon terhadap situasi Covid-19 outbreak jaringan terorisme yang ada di Indonesia.

Pandemi Covid-19 disebut jadi celah bagi teroris untuk beraksi hal tersebut dikeluarkan oleh pejabat tinggi PBB.

Terkait pernyataan PBB yang menyampaikan peringatan pada dunia atas pemanfaatan pandemic Covid-19 oleh teroris rupanya menuai banyak respon.
Sejumlah pejabat dari beberapa negara turut menanggapi peringatan yang dikeluarkan oleh PBB ini.

Selain itu ancaman terror nasional selama pandemic Covid-19 adalah serangan terror dalam situasi kacau yang dapat dipicu terutama jika krisis di masyarakat yang menyebabkan situasi kacau semisal kebijakan PPKM Darurat yang sedang ada di Indonesia yang rentan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok terorisme untuk memperkeruh suasana.

Pola Pemerintah dalam memonitor pergerakan cyberspace adalah upaya pada kontra radikalisasi dan deradikalisasi, serta menstimulus stakeholder terkait untuk bersinergi. Karenanya polarisasi dimedia lah yang menginisiasi sebuah Gerakan politik serta sosial yang dapat menyentuh hingga tingkat bawah sekalipun pada era sekarang.

Pada dasarnya jaringan teroris tidak mengenal wabah penyakit, tetapi mereka bisa memanfaatkan suasana yang terjadi contohnya seperti saat ini sedang terjadinya pandemic Covid-19 di Indonesia.

Karakter atau tipe ancaman keamanan non-tradisional. Ada beberapa komponen pada ancaman keamanan non-tradisional yang terangkum salah 1nya pandemi/wabah.

Meski krisis kesehatan terus berlangsung, pola terorisme di Indonesia belum berhenti. Bagaimana kita memahami hal ini, dan apa yang membuat terorisme tetap hidup meskipun pandemi juga mengancam kelompok teroris?

Aktualisasi media banyak menjadikan ruang tersendiri bagi terorisme gaya baru lahir sehingga membuat public tergiring oleh situasi dan kondisi politik .(Crenshaw,Martha.2007:”The Debat Over New vs Old Terrorism).

Arus Digital saat ini tidak bisa dibendung oleh siapapun dan kapanpun sehingga Terorisme Dalam katalis ekstremis dan radikalis menimbulkan kekerasan, perubahan dan kelompok kriminal terorganisir telah berhasil mengeksploitasi kerentanan di media sosial untuk memanipulasi orang dan menyebarkan teori konspirasi.

Dalam berbagai perspektif bagaimana teknologi dapat menyediakan instrumen yang valid untuk memerangi disinformasi dan misinformasi online, dengan menyoroti kelebihan dan keterbatasannya.

Harus ditekankan bahwa teknologi dapat mendukung tetapi tidak menggantikan kemampuan dan keterampilan manusia untuk mengevaluasi kebenaran informasi online.

Selain itu, penggunaan teknologi yang efektif untuk mendeteksi dan menghilangkan prasangka disinformasi terhadap orang/kelompok yang menggunakan media sosial sehingga mereka dapat membuat keputusan sendiri tentang apa yang diverifikasi dan apa yang tidak. Hal ini kemudian dapat memberdayakan masyarakat untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan kebenaran dan keadilan.

Hal ini relatif patut diapresiasi mengingat dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang kompleksitas masalah digitalisasi dan mendorong identifikasi pendekatan baru untuk mencegah dan memerangi penggunaan jahat media sosial oleh non-state actor yang terorganisir.

Yuwono Setyo Widagdo, S.Sos, Kader Muda Partai Golkar dan Pengamat Sosial dan Politik