News  

Kenapa Caleg Rebutan Nomor Urut Meski Sistem Pemilu Proporsional Terbuka

Konflik perebutan nomor urut calon anggota legislatif masih terjadi, sekalipun seluruh caleg sudah didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum dan pemilu menggunakan sistem proporsional daftar terbuka. Langkah mitigasi disiapkan sejumlah partai politik untuk meredam konflik yang bisa berdampak negatif pada kerja-kerja pemenangan Pemilu 2024.

Konflik perebutan nomor urut salah satunya terjadi di Partai Nasdem. Bakal calon anggota legislatif (caleg) Nasdem dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Barat VIII, Yosep Husen Ibrahim, sampai memutuskan mundur dari Nasdem karena tidak mendapatkan nomor urut 1. Nasdem menempatkan Husen yang juga merupakan Ketua DPD Partai Nasdem Indramayu itu di nomor urut 3.

Adapun nomor urut 1 diberikan kepada Satori, caleg petahana yang kini bertugas di Komisi XI DPR. Sementara nomor urut 2 diberikan untuk kader senior Nasdem yang juga mantan Sekretaris Jenderal DPR Nining Indrasaleh.

Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Nasdem Jawa Barat Saan Mustopa mengatakan, penetapan nomor urut tersebut dilakukan melalui rapat pleno terbuka secara berjenjang dari tingkat provinsi hingga pusat dan disaksikan oleh pengurus partai.

Penentuan nomor urut tersebut, lanjutnya, dilakukan menggunakan indikator-indikator terukur, di antaranya keaktifan di partai, posisi di struktur partai, serta petahana ataupun caleg baru. Seluruh penilaian dilakukan secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan. Ia menegaskan, tidak ada mahar dan politik transaksional dalam menentukan nomor urut caleg.

”Khusus untuk caleg petahana, ada kebijakan diberikan nomor urut 1 untuk pemilihan DPR,” ujarnya di Jakarta, Jumat (16/6/2023).

Saan menuturkan, pada akhir Mei Husen mempersoalkan nomor urut pencalonannya karena khawatir dengan uji materi sistem pemilu di Mahkamah Konstitusi. Husen khawatir sistem pemilu berubah menggunakan sistem proporsional tertutup sehingga ingin mendapatkan nomor urut 1. Ini karena dalam sistem proporsional tertutup, caleg terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut, sehingga nomor urut 1 paling berpeluang untuk duduk di parlemen.

Kalau nomor urut diubah sampai masa perbaikan Juli mendatang, justru membuat ketidakpastian terhadap caleg, persiapannya pun bisa terganggu.

”Saya sudah yakinkan bahwa sistem pemilu tetap proporsional terbuka. Namun, dia tidak hadir di acara pelatihan caleg sebagai bentuk protes karena mendapatkan nomor urut 3,” tuturnya.

Dalam sistem proporsional terbuka, caleg terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Dengan begitu, semua caleg punya peluang yang sama untuk duduk di parlemen dengan syarat mendapatkan suara terbanyak.

Atas penolakan tersebut, DPW Nasdem telah mencopot Husen dari jabatannya sebagai Ketua DPD Nasdem Indramayu. Nasdem juga siap mengganti Husen dari daftar bakal caleg DPR yang telah didaftarkan. ”Jadi, sebelum 11 Juni protes mencopot atribut partai, posisinya sudah diganti sejak 2 Juni,” kata Saan.

Kepastian caleg

Saan mengatakan, Nasdem telah mendaftarkan seluruh bakal caleg sesuai nomor urut. Nasdem tidak akan mengubah nomor urut yang diberikan meskipun partai masih bisa mengubah nomor urut caleg sebelum penetapan daftar caleg tetap (DCT). Hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian kepada caleg agar tidak ragu mendaftar sekaligus menyosialisasikan diri dan partai.

”Kalau nomor urut diubah sampai masa perbaikan Juli mendatang, justru membuat ketidakpastian terhadap caleg, persiapannya pun bisa terganggu,” ujarnya.

 

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional Eddy Soeparno mengatakan, PAN membuat aturan untuk menentukan nomor urut caleg. Aturan yang ditetapkan saat Rapat Koordinasi Nasional Pemenangan Pemilu, Maret lalu, dibuat untuk mencegah timbulnya friksi dan konflik dalam penentuan nomor urut caleg.

Ia menuturkan, caleg petahana mendapatkan nomor urut 1. Namun, aturan itu tidak mutlak jika incumbent merupakan pergantian antarwaktu (PAW), kinerjanya tidak baik, kurang berkontribusi kepada masyarakat, dan memiliki masalah moral serta hukum. Partai akan mengevaluasi nomor urut petahana jika berbagai indikator tersebut ditemukan.

Lebih jauh, PAN melihat rekam jejak caleg selama dua bulan setelah didaftarkan. Caleg harus sungguh-sungguh bekerja dengan turun ke masyarakat menyosialisasikan diri. Kinerja tersebut menjadi bahan evaluasi untuk mempertahankan di daftar caleg ataupun nomor urut yang akan diberikan.

Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengatakan, konflik penentuan nomor urut caleg merupakan bentuk eskalasi dari ketidakpastian pencalonan anggota legislatif. Pada awal pendaftaran, ada ketidakpastian sistem pemilu karena belum selesai diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun dari sisi aturan, parpol masih bisa mengubah nomor urut caleg yang didaftarkan hingga masa perbaikan dokumen persyaratan, 10 Juli hingga 6 Agustus mendatang.

 

Di sisi lain, ada konflik internal di daerah yang disebabkan perubahan kepengurusan yang berdampak pada pengambilan keputusan dalam pencalonan anggota legislatif. Kepengurusan yang baru kemungkinan mengambil kebijakan yang berbeda dari kepengurusan lama saat merekrut bakal caleg dari kalangan internal ataupun eksternal.

Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada mitigasi dari parpol untuk meredam potensi konflik. Keluarnya caleg bisa berdampak pada kerja-kerja pemenangan karena basis suara akan berkurang. Bahkan, gerbong pemilih caleg bisa beralih ke parpol lain jika tokoh yang didukungnya mengundurkan diri.

”Penyelenggara pemilu perlu sosialisasi kepada parpol untuk mencegah adanya konflik karena pada akhirnya bisa berujung ke sengketa pemilu di Bawaslu,” ucap Kaka.(SUmber)