News  

40 Tahun Menghantui Indonesia: Soeharto, SBY Hingga Jokowi Gagal Mengatasinya

Lebih dari empat dekade neraca jasa Indonesia selalu mengalami defisit. Pergantian presiden demi presiden tetap tak mampu membuat neraca jasa menjadi surplus.

Bank Indonesia (BI) telah merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) hingga transaksi berjalan yang terpantau defisit pada kuartal I-2024.

Jika dilihat lebih rinci, transaksi berjalan dalam hal jasa-jasa terpantau berada dalam teritori defisit US$4,41 miliar dengan ekspor jasa sebesar US$8,72 miliar dan impor saja sebesar US$13,13 miliar. Hal ini memang sedikit lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2023 yang mengalami defisit US$4,97 miliar.

Kinerja neraca jasa yang membaik tersebut didukung oleh peningkatan penerimaan devisa jasa pariwisata.

Sementara kinerja neraca jasa yang masih menjadi beban defisit yakni transportasi sebesar US$2,4 miliar dan bisnis lainnya sebesar US$1,38 miliar. Selain itu, jasa pemeliharaan dan perbaikan, konstruksi, asuransi dan dana pensiun, keuangan, biaya penggunaan kekayaan intelektual, hingga telekomunikasi, komputer, dan informasi.

Untuk diketahui, neraca jasa merupakan hasil bersih antara ekspor jasa dan impor jasa.

Beberapa transaksi yang termasuk ke dalam kelompok jasa contohnya yakni jasa transportasi, pariwisata, dan komunikasi.

Lebih lanjut, perhitungan baik ekspor maupun impor dalam hal ongkos dan jasa pengiriman terdiri dari cost, insurance, dan freight (c.i.f).

Dikutip dari Fundamental Ekonomi dan Krisis Ekonomi Indonesia yang ditulis oleh Sahabudin Sidiq tahun 1999, penyebab defisit pada neraca jasa-jasa adalah besarnya pembayaran bunga utang luar negeri dan juga jasa-jasa transportasi untuk ekspor-impor.

Lebih lanjut, Sidiq menjelaskan bahwa jasa-jasa yang harus dibayarkan oleh Indonesia memang terus terjadi terutama bunga utang luar negeri. Hal ini semakin memberatkan rupiah di tengah depresiasi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Pelemahan rupiah terpantau hampir terus terjadi setiap tahunnya. Hal ini menjadi salah satu alasan dari terjadinya defisit pada neraca ajsa. Dilansir dari Refinitiv, sejak tahun 2000 hingga 2023 atau 24 tahun terakhir, 16 diantaranya menunjukkan bahwa rupiah mengalami depresiasi.

Lebih lanjut, jika dirata-ratakan performa rupiah setiap tahunnya, maka rupiah cenderung mengalami pelemahan sebesar 3,92%.

Tidak sampai disitu, pada sektor jasa transportasi ekspor-impor Indonesia banyak menggunakan jasa asing. Hal ini dapat dilihat ketika eksportir pernah kesulitan untuk mendapatkan kontainer untuk mengekspor barangnya.

Defisit Neraca Jasa-Jasa Lebih dari 40 Tahun

Dikutip dari tulisan Muhammad Afdi Nizar yang berjudul PENGARUH DEFISIT ANGGARAN TERHADAP DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN DI INDONESIA, terpantau neraca jasa-jasa mengalami defisit yang terus-menerus terjadi setidaknya sejak 1980-2021 atau 41 tahun lebih. CNBC Indonesia tidak menemukan data yang lebih lama dari 1980.

Artinya, defisit sudah berlangsung dari era Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), hingag Joko Widodo (Jokowi).

JasaFoto: Neraca Perdagangan Barang, Neraca Jasa, dan Neraca Transaksi Berjalan, 1980 – 2012
Sumber: Bank Indonesia (2013)

Bila diperhatikan selama ini, neraca jasa-jasa dan pendapatan neto selalu mengalami defisit. Bahkan sejak 2004 hingga 2013, defisit neraca pendapatan telah menjadi kontributor terbesar bagi defisit transaksi berjalan.

Kondisi ini memberikan indikasi bahwa pendapatan yang harus ditransfer ke luar negeri lebih besar dari pada pendapatan yang diterima Indonesia dari luar negeri.

Salah satu pendapatan yang ditransfer ke luar negeri adalah bunga pinjaman luar negeri pemerintah. Besaran bunga pinjaman ini juga dicatat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan termasuk salah satu penyumbang yang cukup besar bagi defisit anggaran.

Defisit neraca jasa-jasa terus terjadi di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga kuartal I-2024.

Pelebaran defisit terjadi pada 2021 hingga awal 2024 terjadi akibat pasca pandemi Covid-19 di tahun 2020 membuat utang Indonesia mengalami pembengkakan dan diikuti dengan pelemahan rupiah yang terjadi khususnya sepanjang 2022, rupiah ambruk lebih dari 9%.

 

Sektor Trasportasi, Penyumbang Utama Tekornya Neraca Jasa

Setidaknya ada 11 jenis jasa yang dihitung dalam Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yaitu jasa manufaktur, jasa pemeliharaan dan perbaikan, jasa transportasi, jasa perjalanan, jasa konstruksi, jasa asuransi dan pensiun, jasa keuangan, jasa penggunaan kekayaan intelektual, jasa komunikasi, computer, dan informasi, jasa personal, kultural, dan rekreasi, serta jasa pemerintah.

Kegiatan ekspor impor ke-11 jasa tersebut akan menjadi penentu defisit surplusnya neraca. Termasuk adalah pembayaran bunga dan dividen, pengeluaran turis di Indonesia ataupun wisatawan Indonesia di luar negeri.

Bila merujuk pada data NPI, penyumbang terbesar dari defisit neraca jasa adalah sektor transportasi. Pada kuartal I-2024, defisit pada sektor transportasi menyentuh US$ 2,4 miliar atau 54,4% dari total defisit neraca jasa. Pada 2023, defisit sektor transportasi mencapai US$ 8,8 miliar atau 48,6% dari total defisit neraca jasa.

Besarnya defisit neraca jasa pada sektor transportasi utamanya dipicu oleh peningkatan defisit pada jasa transportasi (freight) karena masih dikuasainya pelayaran oleh kapal asing.

Laporan Tim Kajian Neraca Pembayaran Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan pada 2012 menyebut kapal berbendara asing diperkirakan menguasai 78% jumlah kapal, 94% daya angkut, dan 90% muatan ekspor dan impor. Sedangkan kapal berbendara Indonesia hanya menguasai kapal-kapal dengan daya angkut yang relatif kecil.

Jumlah tersebut tidak jauh beda selama 10 tahun berselang.

Data Kementerian Perhubungan menyebut jika untuk mengangkut ekspor dan impor Indonesia masih bergantung pada kapal asing. Lebih dari 80% ekspor Indonesia diangkut oleh kapal asing.

Data Indonesian National Shipowners’ Association (INSA) bahkan menyebut muatan ekspor impor Indonesia 90% diangkut asing.

Dengan besarnya jasa ekspor impor oleh kapal asing maka setidaknya ada tiga hal yang harus dibayar dalam mata uang asing yakni sewa kapal, tenaga kerja, hingga asuransi.

 

(Sumber)