Pegiat media sosial Tommy Shelby kembali mengkritik perbedaan harga bahan bakar minyak (BBM) antara Malaysia dan Indonesia.
Tommy membandingkan harga BBM setara Pertamax yang dijual oleh Petronas di Malaysia seharga Rp 7.800 per liter dengan keuntungan 280 triliun rupiah.
Sementara Pertamina di Indonesia menjual dengan harga Rp 12.900 per liter, namun disebut tetap mengalami kerugian.
“Petronas jual BBM setara Pertamax cuma Rp 7.800 dan tetap untung 280 Triliun. Pertamina jual Rp 12.900, tapi malah rugi?! Kok bisa?” ujar Tommy di X @TOM5helby (5/3/2025).
Tommy menyebut beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan ini, di antaranya efisiensi operasional, besarnya ekspor, serta pajak yang lebih rendah di Malaysia.
Sebaliknya, ia menilai Pertamina mengalami kerugian akibat inefisiensi, ketergantungan pada impor, serta beban birokrasi yang besar.
Lebih lanjut, ia menyoroti dugaan korupsi di tubuh Pertamina sebagai salah satu penyebab utama harga BBM di Indonesia lebih mahal.
“Ada satu faktor yang paling bikin rakyat Indonesia makin panas: KORUPSI di Pertamina kayak tanpa akhir! Dari mark-up proyek, mafia migas, sampai direksi yang bancakan duit negara!,” tegasnya.
Kata Tommy, rakyat Indonesia dipaksa membayar harga BBM yang lebih tinggi, tetapi keuntungan perusahaan justru tidak sebanding.
Ia mempertanyakan apakah kerugian ini sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu.
“Sepertinya memang ada yang sengaja dibuat rugi biar bancakan terus jalan?,” tandasnya.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mengusut kasus dugaan korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang PT Pertamina Patra Niaga, yang menyebabkan negara merugi hingga Rp193,7 triliun.
Sejauh ini, sembilan tersangka telah ditetapkan, termasuk dua nama terbaru, yaitu Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, serta Edward Corne (EC) yang menjabat sebagai VP Trading Operations.
Baca juga:
Dibongkar! Begini Modus Korupsi BBM Oplosan dari Produksi hingga Impor
Keduanya diduga melakukan kejahatan bersama tujuh tersangka lain yang telah lebih dulu ditetapkan Kejagung.
Modus yang digunakan adalah pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan minyak berkualitas lebih rendah, yang terjadi dalam lingkup PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.
Perbuatan para tersangka ini menyebabkan kerugian keuangan negara dalam jumlah fantastis, mencapai Rp193,7 triliun.
Kejagung menegaskan bahwa pengusutan kasus ini akan terus berlanjut dan tidak menutup kemungkinan ada tersangka baru, termasuk dari kalangan pejabat yang lebih tinggi.
Sebelumnya, Kejagung mengungkap skandal korupsi dalam ekspor-impor minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina.
Salah satu modus yang dilakukan adalah memanipulasi bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 menjadi RON 92 sebelum dipasarkan, menyebabkan kerugian negara yang mencapai Rp 193,7 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, menjelaskan bahwa pengadaan BBM ini dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga.
Namun, dalam praktiknya, perusahaan tersebut membeli BBM dengan kualitas lebih rendah (RON 90), lalu menjualnya seolah-olah sebagai RON 92 dengan harga yang lebih tinggi.
Kejagung telah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Di antaranya adalah Riva Siahaan (Dirut PT Pertamina Patra Niaga), Sani Dinar Saifuddin (Direktur Optimasi Feedstock and Product PT Kilang Pertamina International), serta Yoki Firnandi (Dirut PT Pertamina Shipping).
Selain itu, ada juga beberapa tersangka dari sektor swasta, termasuk Muhammad Kerry Andrianto Riza, putra dari pengusaha migas Mohammad Riza Chalid.
Modus manipulasi ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi mempengaruhi kualitas BBM yang digunakan masyarakat. Kejagung memastikan akan terus mengusut kasus ini hingga ke akar-akarnya. (Sumber)