News  

Awas Pak Jokowi! Banyak Sekali Masalah Besar Ancam Ekonomi RI

Sederet masalah ancam perekonomian Indonesia pada tahun ini. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta lebih waspada, apalagi bila menginginkan ekonomi tumbuh sesuai target 5,2%.

Demikianlah disampaikan Eko Listiyanto Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) dalam konferensi pers,

“Kebijakan Tak Fokus, Pemulihan Pupus: Tanggapan terhadap Kinerja Ekonomi 2021, secara virtual, Selasa (8/2/2022).

“Sangat penting untuk memiliki mitigasi risiko dan antisipasi di tengah tren harga minyak yang meningkat, geopolitik yang memanas, hingga soal rencana naik suku bunga dan tappering di AS,” jelas Eko.

“Mitigasi penting agar jadi catatan pemerintah agar bisa mencapai pertumbuhan 5,2% pada akhir 2022,” ungkap Eko.

Beberapa hal yang harus dimitigasi menurut Indef antara lain:

1. Omicron yang memperlambat laju pemulihan ekonomi. Virus Covid-19 varian Omicron yang menyebar sangat cepat telah menghambat tren pemulihan ekonomi global di 2021.

Pada awal tahun 2022 ini, Omicron dapat menjadi ancaman bagi pemulihan ekonomi nasional seiring kasus positif Covid-19 yang kembali dalam tren peningkatan pesat. Indonesia harus bersiap menghadapi gelombang 3 pandemi yang dipicu oleh menyebarnya Omicron.

Kebijakan PPKM perlu kembali dievaluasi untuk memastikan negara siap menghadapi potensi gelombang 3 pandemi di tanah air.

2. Harga minyak melonjak akibat geopolitik yang bergejolak. Tensi geopolitik global meningkat seiring memanasnya isu Rusia-Ukraina yang kemudian melibatkan negara-negara dengan perekonomian dominan di dunia.

Ujung situasi ini adalah harga minyak mentah global yang sebelumnya sudah mengalami tren meningkat seiring mulai pulihnya ekonomi, semakin melesat menuju US$100 per barrel.

Bagi Indonesia situasi ini tentu tidak mudah mengingat kebutuhan minyak yang harus dipenuhi dari impor juga akan meningkat seiring pemulihan ekonomi. di sisi lain, harga yang meningkat akan membuat biaya produksi energi naik dan akhirnya terefleksikan melalui inflasi barang dan jasa yang diatur pemerintah.

3. Pemulihan ekonomi global juga mendorong peningkatan permintaan komoditas. Di sisi lain, supply tidak secara cepat mengimbangi naiknya demand.

Akibatnya harga komoditas mengalami peningkatan dan pada akhirnya juga mendorong inflasi yang bersumber dari barang bergejolak dan impor.

Bagi Indonesia situasi ini menjadi simalakama, di satu sisi ekspor komoditas mendorong surplus negara perdagangan, namun di sisi lain akibat harga komoditas naik maka harga barang (terutama bahan pokok) juga semakin mahal.

4. Bersiap hadapi tapering-off. Di sisi moneter, isu global yang membayangi pemulihan ekonomi mengerucut pada rencana tapering-off AS.

Seiring inflasi AS yang berada di atas target The Fed, maka bank sentral AS ini akan mengurangi pembelian surat utang pemerintah, yang implikasi selanjutnya adalah kemungkinan naiknya bunga acuan.

Bagi Indonesia sungguh pun dari sisi makro situasi ini dapat diantisipasi, namun kewaspadaan dan kesiapan kebijakan tetap perlu dilakukan.

Hal ini karena pada moment-moment tertentu tetap saja spekulasi bisa terjadi, yang dapat membuat fluktuasi ekonomi. Terlebih lagi jika rencana tapering-off tersebut bersamaan dengan isu global lainnya seperti soal panasnya geopolitik. {cnbc}