Legacy Gus Dur Vs Muhaimin

Legacy Gus Dur Vs Muhaimin PKB Radar Aktual

Keputusan Yenny Wahid dan keluarga besar Gus Dur gabung ke Jokowi, menceku banyak lawan politik Jokowi. Bikin pentas politik menuju 2019 cetar membahana. Berbagai analisa bahwa Yenny ke Prabowo-Sandi pasca Mahfud MD di tackling Muhaimin cs, pun lintang pukang.

Tentu, keputusan Yenny dan keluarga, dibaca sebagai pemboyong suara tradisional NU ke Jokowi. Sesumbar Jazilul Fawaid, salah satu pimpinan DPP PKB menyebut, “kemenangan Jokowi sudah di depan mata.”

Memang begitu adanya susuai teori. Sesuai social behaviour. Bahwa dalam masyarakat yang tersusun atas hierarki sosial yang belibet dengan hubungan patron klien, kepengekoran terhadap patron sosial, adalah bagian dari perilaku politik. Maka keputusan Yenny sebagai legacy Gus Dur mendukung Jokowi, bisa jadi pemantik, bergeraknya lokomotif NU Gusdurian merapat ke Jokowi. Artinya NU 100 persen sudah klop dengan Jokowi?

Di beberapa daerah, teori ini sedikit terbantahkan. Jawa Timur sebagai basis NU misalnya, pada pemilu 2014, warga NU Jatim yang memilih Prabowo-Hatta, sesuai survei Lembaga Survei Nasional (LSN) dan Surabaya Survey Center (SSC) sebesar 48,8 persen. Sementara pemilih Jokowi-JK sebesar 35,1.

Sisanya, yaitu sekitar 16,1 persen, tak menentukan pilihan. Ataupun PKB yang dibaca sebagai tempat kaum Nahdliyin berpolitik, pun cuma dipilih oleh 10 juta warga NU saat pemilu 2014.

Konsistensi NU

Kendatipun demikian, secara nasional, di Pilpres 2014 misalnya, NU konsisten dengan sikap mendukung Jokowi. Sebelum pemilu, berdasarkan berbagai hasil survei, Jokowi-JK mendapat dukungan tak jauh-jauh dari 40-an persen warga NU. Dan hingga hasil pemilu, dukungan tersebut hanya bergeser nol koma sekian persen.

Data jumlah warga NU, pun menjadi soal. Apakah melalui jumlah KTA NU, atau berdasarkan siapa yang qunut dan yang tak qunut? Lembaga Survei Indonesia melalui exit poll pada 2013 merilis data bahwa dari 249 juta penduduk Indonesia yang mempunyai hak pilih, sekitar 36 persen atau 91,2 juta di antaranya mengaku sebagai warga NU.

Cuma data ini belum definitif karena metode seperti apa yang dipakai LSI. Karena ada yang menyebut jumlah warga NU di Indonesia 60 juta, 90 juta bahkan 120. Dengan begitu banyak angka kira-kira ini, menandakan basis metodologi penjumlahan lemah alias cuma tembak-tembakan saja.

Kendatipun demikian, konsistensi pemilih NU terhadap Jokowi cukup kuat; mengikuti garis dukungan patronnya. Hal itu bisa kita lihat pada Pemilu sebelumnya. Dukungan Yenny beserta keluarga Gus Dur pada Jokowi pada Pilpres 2019, adalah bagian lain lapisan NU, yang membungkus Jokowi secara politik.

Selain Yenny, ada juga PKB-Muhaimin dan PB NU-Said Aqil. Namun jika kita usut latar belakang kedua kubu ini, maka bukan tak mungkin, akan terjadi “perang dingin,” dalam berebut pengaruh di hadapan Jokowi.

Gagalnya Mahfud MD sebagai Cawapres Jokowi, memperlihatkan, kedua kubu ini; Yenny Vs PKB-Muhaimin dan NU-Said Aqil saling kakas. Berhadap-hadapan secara terbuka di ruang publik. Apakah sikap Yenny mendukung Jokowi, adalah cara lain melanjutkan perseteruan itu?

Dari luar kita lihat, Mahfud dibaca sebagai Gusdurian, kemudian dibedah DNA NU-nya. Dan oleh Muhaimin dan Said Aqil, mereka tak menemukan kode genetik Mahfud sebagai seorang NU tulen. Ia cuma NU naturalisasi. Sebaliknya, Yenny yang menganggap Mahfud sebagai Gusdurian tulen; otomatis kader NU juga. Mahfud di-tackling kasar hingga jatuh terkusruk di ujung pertandingan.

Dari luar, secara cepat-cepat kita dapat membaca, bahwa keberadaan Mahfud; bila terpilih sebagai Cawapres mendampingi Jokowi, akan menjadi ancaman bagi Muhaimin cs. Mahfud menjadi faktor pengukuh; kembalinya trah Gus Dur di pusaran kekuasaan. Bukan tak mungkin, bila Mahfud dan trah Gusdurian, melakukan take back terhadap PKB dan NU sekaligus.Sangat mungkin, bila trah Gus Dur menjadi bagian dari kekuasaan.

Legacy Gus Dur

Pertarungan belum usai. Yeni datang kembali. Hal itu terlihat dari cuitan adiknya, Alisa, di twitterland. @AlissaWahid: Saya saksinya. Sampai akhir hayat. 3 minggu sebelum wafat pun masih bilang “Imin gak iso dijarno” (Imin tak bisa dibiarkan-red). Mungkin saja itu wasiat Gu Dur, Muhaimin tak bisa dibiarkan.

Dukungannya Yenny pada Jokowi, pun dapat disebut sebagai “kembalinya legacy Gusdurian dalam pusaran Jokowi,” setelah gagal menyuruk lewat pencalonan Mahfud MD sebagai cawapres Jokowi. Bukan tak mungkin, pertarungan Gusdurian dengan kubu Muhaimin terjadi diam-diam bak api dalam sekam.

Yenny dengan confidence sebagai kekuatan penghela Nahdliyin akan extra effort memainkan kekuatannya. Muhaimin, PKB dan PB NU yang selama ini memberikan sokongan, pun akan memanfaatkan semua jejaring politik. Semua kekuatan dipakai menghadang Yenny Wahid.

Bukan tak mungkin, tarik menarik ini, akan menyisahkan retakan dan gesekan kecil yang bertumpuk-tumpuk menjadi gunungan konflik; yang bererupsi dan meleleh ke akar rumput. Menjadi friksi dan membelah akar rumput Nahdliyin. Bukan tak mungkin juga, kubu Prabowo-Sandi, yang juga didukung beberapa elit NU, akan menunggu erupsi tersebut; dan memungut satu per satu sebagai kekuatan besar. Semua bisa saja terjadi. Politik adalah momentum.

Oleh: Abdul Hafid Baso, Pemerhati Masalah Sosial Politik, Ketua PP AMPG