News  

Biaya Kereta Cepat Jakarta-Bandung Bengkak Hingga Rp.22,6 Triliun, Ini Penjelasan Wamen BUMN

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo, mengungkapkan hasil audit pembengkakan biaya atau cost overrun proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) mencapai USD 1,44 miliar atau setara Rp 22,66 triliun (kurs Rp 15.639 per dolar AS).

Kartika yang akrab disapa Tiko ini menjelaskan pembengkakan biaya itu berdasarkan dua asersi hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pertama menunjukkan potensi pembengkakan biaya KCJB mencapai USD 1,17 miliar.

Lalu, audit BPKP kedua menunjukkan pembengkakan biaya lebih tinggi yaitu USD 1,44 miliar, per 15 September 2022. Dengan begitu, total biaya proyek atau project cost KCJB mencapai USD 7,5 miliar atau Rp 117,2 triliun.

“Kami saat ini (cost overrun) ada di angka USD 1,449 juta, sekarang total project cost sekitar USD 7,5 miliar,” ungkapnya saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR, Selasa (1/11).

Tiko melanjutkan, rapat Komite KCJB menyepakati angka pembengkakan biaya hasil audit BPKP tersebut agar dipenuhi oleh 25 persen ekuitas konsorsium China dan Indonesia, 75 persen sisanya berasal dari pinjaman atau utang.

Dia menjelaskan, untuk memenuhi porsi ekuitas sebesar 25 persen tersebut, proyek KCJB harus dipenuhi oleh kas negara melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang hingga saat ini belum cair.

Dengan demikian, Tiko pun mengajukan usulan pencairan PMN untuk KAI bisa dilakukan sebesar Rp 3,2 triliun di tahun ini. Dia pun meminta dukungan dari Komisi VI agar menyetujui usulan tersebut.

“Kami mengajukan dukungan kepada Komisi VI untuk bisa melakukan PMN dalam cadangan investasi APBN 2022 sebesar Rp 3,2 triliun untuk memenuhi porsi 25 persen ekuitas atas cost overrun project KCJB,” kata dia.

Sementara sisa 75 persen dari pembengkakan biaya proyek KCJB, lanjut Tiko, akan dipenuhi oleh pinjaman dari China Development Bank (CDB). Sejauh ini, pemerintah masih bernegosiasi terkait struktur pembiayaan dan penjaminan fasilitas tambahan proyek KCJB.

Penyebab Pembengkakan Biaya Proyek KCJB
Dalam kesempatan tersebut, Tiko pun menjelaskan beberapa penyebab pembengkakan biaya. Pertama, yang menjadi tantangan terbesar adalah pembangunan subgrade (tanah dasar) dan terowongan.

“Ada tunnel 4,6 km yang tanahnya runtuh dan harus diperbaiki, dan ada juga tunnel 2 yang harus diblasting karena tanahnya keras dan ada juga wilayah tanahnya longsoran sehingga harus ada penguatan dari sisi infrastruktur oleh WIKA,” jelasnya.

Dia melanjutkan, penyebab lain adalah terkait pajak dari sewa tanah, lantaran semua tanah yang digunakan di proyek KCJB ini adalah tanah sewa. Lalu, masalah penyewaan sinyal GSM-R sebesar Rp 1,3 triliun yang tidak dicantumkan dalam rencana pembiayaan di awal.

Selain itu, ada juga biaya Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dengan PT PLN (Persero). Kemudian, pembangunan Stasiun di Halim untuk integrasi dengan LRT Jabodetabek, serta biaya relokasi Stasiun Walini ke Stasiun Padalarang juga tidak ada di rencana awal pembangunan.

“Memang ada biaya-biaya yang tidak masuk di awal, sekarang kita sudah sepakati harus masuk ke biaya projek karena pihak China mengira ini biaya pemerintah bukan biaya projek. Ini kita sedang selesaikan negosiasinya agar bisa tuntas,” pungkasnya.(Sumber)