News  

Polemik Penundaan Pemilu Dari Aspek Hukum Tata Negara

Penundaan Pemilu dinilai menabrak konstitusi, perampasan hak rakyat, serta menambah masalah yang menguras energi bangsa.

Sepekan terakhir, publik dibuat kisruh ‘sejumlah elite partai politik’ yang mengusulkan penundaan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Sejumlah kalangan angkat bicara, tak terkecuali para pakar hukum tata negara. Gonjang-ganjing penundaan pemilu bagi sebagian kalangan dinilai sebagai upaya menabrak konstitusi, hingga mementingkan syahwat oligarki.

Padahal agenda penyelenggaraan Pemilu digelar Februari 2024 seperti yang telah disepakati DPR dan pemerintah.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2013-2015 Hamdan Zoelva berpandangan, penundaan pemilu bentuk perampasan hak rakyat.

Sebab, dalam Pasal 22E UUD 1945 secara tegas mengatur pelaksanaan Pemilu digelar per lima tahun. Jika ingin menunda Pemilu, maka mesti mengubah rumusan Pasal 22E sesuai ketentuan dalam Pasal 37 UUD 1945. Baginya, tak ada alasan moral, etik dan demokrasi menunda pemilu.

“(Jika menunda Pemilu) Dapat dikatakan merampas hak rakyat memilih pemimpinnya 5 tahun sekali. Tapi kalau dipaksakan dan kekuatan mayoritas MPR setuju, siapa yang dapat menghambat. Putusan MPR formal sah dan konstitusional. Soal legitimasi rakyat urusan lain,” ujarnya melalui akun twitternya, Sabtu (27/2/2022) pekan lalu.

Jika pemilu ditunda 1-2 tahun, lanjut Hamdan Zoelva, siapa yang akan menjabat presiden, anggota kabinet menteri, dan anggota DPR, DPD, DPRD seluruh Indonesia.

Sebab masa jabatan seluruhnya berakhir pada September 2024. Lagipula, konstitusi tidak mengenal pejabat presiden, tapi pelaksana tugas kepresidenan yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Menteri Luar Negeri (Menlu) dan Menteri Pertahanan (Menhan).

Tapi itupun, kata Hamdan menjadi soal. Sebab jabatan Mendagri, Menlu dan Menhan berakhir dengan berhentinya masa jabatan presiden dan wapres.

Kecuali, MPR menetapkan lebih dahulu sebagai pelaksana tugas kepresidenan. Berdasarkan Pasal 8 UUD 1945, MPR dapat mengangkat presiden dan wapres menggantikan pejabat presiden dan wapres yang berhenti atau diberhentikan sampai terpilihnya presiden dan wapres hasil pemilu.

Menurutnya, MPR memilih dan menetapkan salah satu dari dua pasangan calon presiden dan wapres yang diusulkan parpol atau gabungan parpol yang pasangan capresnya mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilu. Nah dalam kondisi tersebut siapapun dapat diusulkan, tak harus presiden yang sedang menjabat.

Penundaan Pemilu dinilai menabrak konstitusi, perampasan hak rakyat, serta menambah masalah yang menguras energi bangsa.

“Tetapi masalahnya tidak berhenti di situ, siapa yang memperpanjang masa jabatan anggota MPR (DPR-DPD) dan DPRD? Padahal semuanya harus berakhir pada 2024, karena mereka mendapat mandat terpilih melalui pemilu,” ujarnya.

Menurutnya persoalan menjadi rumit secara konstitusionalitas ketika dilakukan penundaan Pemilu. Dia berpendapat penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden hanya mencari-cari masalah yang menguras energi bangsa.

Dia menyarankan agar semua pihak maupun elit partai konsisten menjalankan pemilu sesuai konstitusi agar negara tetap dalam kondisi aman.

“Lagi pula, skenario penundaan pemula merampas hak rakyat menentukan pemimpinnya setiap 5 tahun sekali,” ujarnya.

Sisi lain, Pakar Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra berpendapat, penundaan pemilu 2024 dapat terlaksana asalkan mendapat keabsahan dan legitimasi dengan menempuh tiga cara.

Pertama, amandemen UUD 1945. Kedua, presiden mengeluarkan dekrit sebagai sebuah tindakan revolusioner. Ketiga, menciptakan konvensi ketatanegaraan (constitutional convention) yang dalam pelaksanaannya diterima dalam praktik penyelenggaraan negara.

“Ketiga cara ini sebenarnya berkaitan dengan perubahan konstitusi, yang dilakukan secara normal menurut prosedur yang diatur dalam konstitusi itu sendiri, atau cara-cara tidak normal melalui sebuah revolusi hukum, dan terakhir adalah perubahan diam-diam terhadap konstitusi melalui praktik, tanpa mengubah sama sekali teks konstitusi yang berlaku,” ujarnya.

Wakil Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia era Presiden Abdurrahman Wahid -Gusdur, red) ini menilai, landasan paling kuat dalam memberikan legitimasi terhadap penundaan pemilu, konsekuensinya berupa perpanjangan masa jabatan presiden dan wapres, MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Caranya itu tadi, dengan mengamandemen UUD 1945. Sedianya prosedur amandemen konstitusi diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, Pasal 24 dan 32 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD sebagaimana telah diubah dengan UU No.13 Tahun 2019, serta Tata Tertib MPR.

Baginya, hal perlu diubah bukanlah mengubah pasal-pasal dalam UUD 1945 yang ada secara harfiah. Tapi, menambah pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum.

Menurutnya, Pasal 22E dapat ditambah ayat baru, yakni Pasal 22E ayat (7) yang memuat norma, “Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka MPR berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu”.

Kemudian ayat (8), “Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum”.

Menurutnya, dengan penambahan dua ayat dalam Pasal 22E UUD 1945, maka tak ada istilah perpanjangan masa jabatan presiden,MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan begitu, para anggota MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu.

Sementara itu, mantan Ketua MK periode 2003-2008, Prof Jimly Asshiddiqie mengomentari pandangan Yusril. Menurutnya, tiga cara penundaan pemilu dengan menambah ayat pada Pasal 22E UUD 1945, mengeluarkan dekrit dan menciptakan konvensi ketatanegaraan hanyalah dari sudut pandangan perorangan berlatar belakang sarjana hukum dengan metode deskriptif, lawyer dan administratur yang berupaya menjustifikasi kekuasaan.

“Tapi di pengadilan, legal-ilegal sangat jelas. Maka dekrit presiden Gusdur bubarkan DPR dengan logika sama dinyatakan melanggar hukum dan MPR berhentikan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar menerima pelaku UMKM, para pengusaha dan para analis ekonomi dari berbagai perbankan di ruang Delegasi DPR. Pasca mendengar masukan, Ketua Umum PKB itu mengusulkan penundaan Pemilu 2024 dua sampai tiga tahun secara terbuka. Dia beralasan penundaan agar momentum perbaikan ekonomi tidak hilang untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.

Gayung bersambut. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto masih terkesan malu-malu. Lain halnya dengan Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Melchias Markus Mekeng menilai wacana perpanjangan masa jabatan presiden, bukan hal tabu untuk dibahas.

Menurut dia, selagi prosesnya dilakukan secara konstitusional, menjadi sah. Menyusul sikap politik dari partai besar seperti PKB dan Golkar, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan sepakat apabila Pemilu 2024 diundur. Dia menjelaskan lima alasan agar pemilu dapat diundur, salah satunya pandemi Covid-19 yang belum berakhir.(Sumber)