News  

Salahkah Ridwan Kamil Bangun Masjid Al Jabbar Dengan APBD Jawa Barat Rp.1 Triliun?

Pembangunan Masjid Al Jabbar yang menelan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jawa Barat mendapatkan kritik dari warganet.

Maklum, dana yang dikeluarkan APBD Jawa Barat untuk pembangunan masjid itu mencapai Rp1 triliun. Seorang pengguna instagram dengan akun @outstandjing mengatakan membangun masjid sebenarnya sebuah perbuatan yang mulia.

Tapi tambahnya, kalau pembangunan memakai dana APBD, itu yang menjadi masalah. Ia mengatakan dana APBD berasal dari pembayar pajak yang punya latar belakang berbeda-beda.

Niat atau akad membayar pajak pun katanya, tidak untuk wakaf. Ia menambahkan dalam Islam, tidak sembarang dana bisa dipakai untuk membangun masjid.

Unggahan itu pun direspons langsung oleh Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ia mengatakan penggunaan dana negara, termasuk APBD itu adalah kesepakatan bersama, dibahas dengan musyawarah bersama rakyat dalam forum

Dalam forum itu, rakyat bisa menitipkan aspirasi melalui pemda atau sistem perwakilan yaitu DPR/D.

“Masjid, gereja, pura semua BISA dibiayai negara selama itu disepakati eksekutif dan legislatif,” katanya seperti dikutip dari akun instagramnya.

Hal sama kata Ridwan, pernah terjadi pada pembangunan Masjid Istiqlal yang dibiayai Rp7 milia dengan APBN pada 1961.

Nah, berkaitan dengan pembangunan Masjid Al Jabbar, Ridwan Kamil mengatakan jutaan warga Jawa Barat melalui berbagai ormas Islam menitipkan aspirasi rakyat Jawa Barat agar dibangun Masjid Raya Provinsi sejak 7 tahun yang lalu.

“Dan itulah yang kami lakukan: memenuhi dan membangun aspirasi rakyat,” katanya.

Terlepas dari jawaban itu, tepatkan kebijakan Ridwan Kamil sekarang ini?

Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Raadiansyah menilai langkah Ridwan Kamil membangun Masjid Raya Al Jabbar menggunakan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Rp1 triliun tidak tepat.

Pasalnya, ada prioritas lain yang lebih penting dan mendesak untuk segera didanai dengan dana Rp1 triliun di Jawa Barat ketimbang membangun masjid menggunakan APBD.

Trubus sependapat dengan warganet bahwa APBD itu bersumber dari pajak masyarakat di mana unsur publik beragam, tidak hanya umat Islam. Sementara itu, masjid hanya mewakili golongan atau kelompok masyarakat tertentu.

“Jadi pembangunan itu (Masjid Al Jabbar) menurut saya bukan dilarang, boleh membangun masjid, cuma APBD itu hanya stimulus saja. Pemantik saja, sumber lainnya dicari, entah hibah atau apa. Jadi tidak murni semuanya dari APBD. Nah, kekeliruan di pembangunan Masjid Al Jabbar itu sepenuhnya APBD,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/1).

Ia menambahkan uang Rp1 triliun besar dan bisa dialihkan kepada masyarakat yang lebih membutuhkan. Trubus menilai anggaran tersebut lebih bijak digunakan untuk pembangunan lain, seperti jalan hingga transportasi publik yang lebih dibutuhkan masyarakat.

Bicara soal aturan, sebenarnya apa yang dilakukan Ridwan Kamil tidak bisa disalahkan. Membangun masjid atau rumah ibadah lain menggunakan APBD memang diperbolehkan.

Hal tersebut diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Forum kerukunan umat beragama (FKUB) dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota oleh masyarakat, lalu difasilitasi oleh pemerintah daerah (pemda). Di dalam pasal 9 ayat 2 e Peraturan Bersama Menteri, FKUB bertugas memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.

Ketentuan detail pendirian rumah ibadah diatur di dalam Bab IV Peraturan Menteri Bersama, rinciannya ada di pasal 13 hingga 17. Pada pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa pendirian rumah ibadah didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa.

Lebih lanjut, pasal 13 ayat 2 menyebut pendirian rumah ibadah dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.

“Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di provinsi didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi,” bunyi pasal 26 ayat 1 Peraturan Menteri Bersama.

Trubus memahami aturan tersebut dan karena itu tidak menyalahkan 100 persen kebijakan Ridwan Kamil membangun masjid dengan menggunakan dana APBD Rp1 triliun. Ia menambahkan ada peran DPRD Jawa Barat juga yang harus disorot. Pasalnya, mereka dengan mudah meloloskan pengajuan APBD Rp1 triliun untuk pembangunan Masjid Al Jabbar.

Menurutnya, ketika usulan penggunaan APBD untuk pembangunan Masjid Al Jabbar diajukan, DPRD sudah harus mempertanyakan hal tersebut. Trubus tak habis pikir mengapa DPRD Jawa Barat bisa menyetujui hal tersebut.

“Jadi tanggung jawabnya sekarang tidak hanya di Ridwan Kamil, tapi kesalahannya ada pada DPRD juga karena di situ ada badan anggaran (Banggar), fungsi Banggar yang mengurusi itu semua. Jadi harusnya di situ sudah disetop, tidak boleh,” tegasnya.

Trubus menegaskan APBD boleh digunakan untuk membangun masjid, tetapi seharusnya tidak seluruh biaya pembangunan ditanggung.

Ia menekankan sifat APBD hanya sebagai pemantik. Kendati, ia menilai tidak ada hitungan pasti soal bagaimana porsi pendanaan pembangunan masjid.

“Jadi pembangunan (Masjid Al Jabbar) itu sebenarnya gak ada urgensinya, hanya untuk pencitraan doang. Pencitraan wah-wahan, untuk gagah-gagahan,” kritik Trubus.

Senada, Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) Yusuf Wibisono menilai pembangunan masjid menggunakan APBD memang tidak dilarang. Namun, apa yang dilakukan Emil mencederai rasa keadilan publik.

Yusuf menuturkan mekanisme pembangunan rumah ibadah dengan dana APBD umumnya menggunakan pos anggaran belanja hibah atau belanja bantuan sosial.

Menurutnya, setiap daerah punya prioritas yang berbeda. Politik anggaran pun bermain di mana kesepakatan antara eksekutif dan legislatif akan menentukan prioritas daerah yang direfleksikan dalam APBD.

Selain politik anggaran daerah, Yusuf menilai ada faktor penting kenegarawanan pejabat publik dalam menentukan prioritas daerah. Ia menegaskan pejabat daerah bukan raja otoriter, sehingga keputusan yang dibuat harus memenuhi rasa keadilan publik.

“Ketika jumlah tempat ibadah di suatu daerah sudah banyak dan memadai, di sisi lain masih banyak sekolah, puskesmas, jalan, dan jembatan yang rusak parah dan tidak memadai, tentu menggunakan APBD dalam jumlah besar untuk membangun tempat ibadah akan mencederai rasa keadilan publik,” jelasnya.(Sumber)