News  

Menkominfo Johnny G Plate Dalam Jaring Korupsi BTS BAKTI

Enam jam setelah menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengeluarkan pernyataan datar.

Hari itu, Rabu (15/30), ia menjalani pemeriksaan kedua dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Base Transceiver Station (BTS) 4G Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kominfo.

“Keterangan yang diberikan adalah keterangan yang saya tahu, saya pahami, dan menurut saya benar sebagai saksi,” kata Johnny Plate. Ia sama sekali tak bicara soal substansi pemeriksaan meski baru saja dicecar penyidik dengan 26 pertanyaan.

Sekjen NasDem itu antara lain ditanyai soal keterkaitannya dengan sang adik—Gregorius Alex Plate—dalam kasus BTS, sebab Gregorius pernah mengembalikan uang senilai Rp 534 juta ke Kejagung yang diduga sebagai keuntungannya di proyek BTS.

Selain itu, penyidik mencecar peran Johnny Plate dalam proses perencanaan dan pengawasan proyek BTS. Namun, sang menteri tak ingin berbagi cerita tentang semua itu.

“Saya tak bisa melayani tanya jawab karena ini menyangkut proses hukum yang panjang dan belum selesai,” ujarnya singkat.

Kejaksaan Agung sebelumnya menyatakan pemeriksaan Plate juga dalam kapasitasnya selaku pengguna anggaran. Plate dinilai bertanggung jawab terkait keuangan proyek BTS yang “terindikasi kemahalan dan [mengandung] mufakat jahat untuk menaikkan harga.”

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya juga menyebut bahwa lembaganya mencium “adanya indikasi manipulasi pertanggungjawaban progres proyek sehingga seolah-olah pencairan 100% dapat dilaksanakan terlebih dahulu.”

Proyek BTS yang mestinya dikerjakan selama tiga tahun, ternyata dirancang selesai hanya dalam satu tahun. Masalahnya, ujar Ketut kepada kumparan, “Satu tahun pun itu belum terlaksana dengan baik.”

Sejumlah sumber menyebut kemungkinan keterlibatan “orang besar” di luar Plate dalam kasus korupsi BTS tersebut.

Orang ini disebut-sebut memiliki perusahaan energi, mempunyai hubungan dengan salah satu anggota Dewan, dan memegang peran sebagai penyuplai baterai pada menara-menara BTS yang dibangun BAKTI Kominfo.

Baterai merupakan salah satu komponen mutlak pada menara BTS yang berfungsi sebagai cadangan energi bila terjadi pemadaman listrik.

Namun, hingga kini nama penyuplai baterai itu belum mengemuka. Ketut justru balik bertanya siapa gerangan tokoh penting yang dimaksud tersebut.

“Siapa namanya? Siapa keluarganya? Siapa anggota DPR yang disebut mengintervensi? Ini harus didapatkan dulu [buktinya],” kata Ketut kepada kumparan, Jumat (31/3).

Korupsi Sejak Dini
Proyek BTS 4G merupakan program BAKTI Kominfo untuk memberikan kesetaraan akses komunikasi bagi masyarakat di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T). R

encananya, 7.904 BTS akan dibangun dengan konsep “1 Desa 1 BTS”. Nilai total proyek itu Rp 28 triliun yang terdiri dari dua tahap: 4.200 BTS dibangun pada 2021 dan 3.704 sisanya pada 2022.

Pembangunan BTS dilaksanakan oleh tiga konsorsium yang memenangi lelang proyek, yakni:

Fiberhome, Telkom Infra, dan Multitrans Data (Kemitraan FTM) menggarap Paket 1 dan 2 untuk wilayah Sumatera, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, serta Maluku.

PT Aplikanusa Lintasarta, Huawei, dan PT SEI (Kemitraan LHS) di paket 3 untuk wilayah Papua Barat dan Papua bagian tengah-barat.

PT Infrastruktur Bisnis Sejahtera (PT IBS) dan ZTE (Kemitraan IZ) mendapat paket 3 dan 4 untuk wilayah Papua bagian tengah-utara dan Papua bagian timur-selatan.

Setahun setelah proyek berjalan, Kejagung mengendus patgulipat di dalamnya. Lembaga pimpinan ST Burhanuddin itu pun mulai menyelidiki dugaan korupsi proyek BTS pada September 2022. Dua bulan kemudian, November 2022, kasusnya naik ke penyidikan.

Tak tanggung-tanggung, Kejagung menduga korupsi proyek BTS terjadi di semua tahapan, mulai dari perencanaan hingga pasca-proyek.

“Semuanya [diusut] mulai dari perencanaan. Bahkan ada beberapa daerah mengirimkan surat, ‘Ini (BTS) enggak ada fungsinya sama sekali’,” kata Ketut.

Indikasi proyek BTS dikorupsi sejak dini, menurut Ketut, bisa dilihat dari fiktifnya studi kelayakan. Studi kelayakan itu dibuat oleh tenaga ahli Human Development Universitas Indonesia, Yohan Suryanto. Kepada penyidik Kejagung, Yohan mengaku studi kelayakan yang ia buat merupakan pesanan. Ia merancangnya dengan meniru proyek BTS lain. Yohan kini telah menjadi tersangka.

“Studi kelayakan dapat memperhitungkan apakah proyek ini layak dikerjakan atau tidak. Kalau benar, pasti studinya bagus. Tapi dia (Yohan) bilang, ‘Saya disuruh copy-paste dengan proyek yang lain.’ Berarti studi kelayakannya enggak ada,” jelas Ketut.

Namun, belakangan melalui kuasa hukumnya, Yohan menampik risetnya abal-abal. Yohan menyatakan, ia bekerja secara profesional setelah ditunjuk melakukan riset oleh Hudev UI. Di samping itu, hasil studi kelayakannya telah teregistrasi dalam berita acara nomor 1401/BAST-R/INFRA/BAKTI/KOMINFO/12/2020 pada 14 Desember 2020.

“Berita acara ditandatangani pihak Hudev UI dan BAKTI,” kata Beny Daga, kuasa hukum Yohan.
kumparan berupaya meminta klarifikasi Kepala Hudev UI Moh. Amar Khoerul Umam mengenai studi kelayakan tersebut, namun ia enggan diwawancara.

Pengondisian Tender
Dugaan praktik lancung proyek BTS sejak fase perencanaan itu bertalian dengan temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam laporan bernomor 40/LHP/XVI/01/2022 tertanggal 31 Januari 2022.

Pada tahap prakualifikasi atau penilaian kompetensi badan usaha, misalnya, BPK menemukan adanya syarat yang membatasi keikutsertaan banyak calon penyedia. Syarat tersebut antara lain harus memiliki minimal 5 kantor cabang di wilayah Indonesia, dan pernah membangun BTS minimal 50% dari total jumlah site (lokasi) pada paket proyek.

Padahal aturan Dirut BAKTI tidak menyebut jumlah minimal kantor cabang yang harus dimiliki calon penyedia di Indonesia. Sementara kemampuan membangun BTS dilihat dari pengalaman calon selama lima tahun terakhir, bukan dari jumlah minimal BTS yang didirikan.

Dokumen prakualifikasi seakan mengarahkan pemenang ke perusahaan tertentu. Namun, BPK berikutnya menemukan ketidaksesuaian kualifikasi kemitraan yang menjadi pemenang proyek. Meski tak sesuai, tulis laporan BPK, “peserta tetap dinyatakan lulus oleh Pokja Pemilihan.”

Pada kemitraan FTM, BPK menemukan bahwa pengalaman pembangunan BTS yang diajukan Fiberhome tidak sesuai, sebab Fiberhome melampirkan salinan kontrak pengalaman milik perusahaan asal China, Datang Mobile Communications Equipment Co., Ltd. Padahal Datang bukanlah pemegang saham langsung maupun induk perusahaan Fiberhome.

Sementara pada kemitraan LHS, BPK menyatakan dokumen yang dikirim PT Aplikanusa Lintasarta tidak dilengkapi lampiran maupun rincian pekerjaan. Alhasil, tidak diketahui jenis pengalaman yang dilampirkan apakah termasuk pembangunan BTS atau tidak.

Adapun pengalaman pembangunan BTS yang disampaikan Huawei tidak bisa dinilai dari segi minimum pemenuhan jumlah site, sebab Huawei merahasiakan dan menyamarkan atau menghapus beberapa informasi dalam salinan kontraknya.

Terakhir, pada kemitraan IBS-ZTE, BPK menemukan bahwa nilai kekayaan bersih mereka tidak memenuhi syarat karena hanya Rp 2 triliun.

“Nilai tersebut masih di bawah kekayaan bersih yang dipersyaratkan untuk mengikuti 3 paket pengadaan sebesar Rp 8,1 triliun,” tulis BPK.

Dugaan kongkalikong proyek BTS makin terang dalam proses tender. BPK menemukan perubahan dokumen tender oleh Pokja Pemilihan untuk menghindari lelang ulang. Ini terjadi saat proses tender untuk paket 4 dan 5 yang akhirnya dimenangi kemitraan IBS-ZTE.

Pada 15 Januari 2021, Pokja Pemilihan sempat menyatakan kemitraan IBS-ZTE tidak lulus tender karena tak memenuhi persyaratan teknis dan finansial. Syarat teknis itu antara lain soal biaya antena VSAT.

Dengan demikian, sesuai aturan Perdirut BAKTI No. 7/2020, seharusnya Pokja Pemilihan melakukan tender ulang. Namun yang terjadi, Pokja Pemilihan pada 22 Januari 2021 justru mereviu dan mengubah dokumen tender dengan menambah spesifikasi tower dan power BTS.

“Perubahan spesifikasi tersebut membuat konsorsium IBS-ZTE dapat memenuhi aspek finansial dan teknis sehingga ditetapkan sebagai pemenang. Perubahan spesifikasi teknis tersebut terindikasi bukan didasarkan pada analisa kebutuhan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, tapi pada spesifikasi teknis yang dimiliki/dapat disediakan oleh konsorsium IBS-ZTE,” jelas BPK dalam paparan temuannya.

Hasil temuan BPK itu kemudian menjadi salah satu bahan bagi Kejagung dalam mengusut proyek BTS, khususnya dari segi tender. Berdasarkan proses penyidikan Kejagung, tender proyek BTS sudah diatur untuk dimenangi pihak tertentu.
“Orang-orang yang bekerja sudah ditentukan,” ucap Ketut.

Boros Anggaran
Temuan berikutnya: kontrak payung yang diteken BAKTI dengan tiga konsorsium pemenang lelang terindikasi memboroskan anggaran hingga Rp 1,5 triliun. Sebagian besar karena penyewaan helikopter senilai Rp 1,4 triliun yang tidak sesuai dengan klausul kontrak.

“Sesuai kontrak pembelian, penyedia (konsorsium) menanggung risiko atas kondisi yang tidak terduga di lokasi, dan tidak dapat mengajukan penyesuaian harga kontrak atas dasar kondisi yang tidak terduga di lokasi,” tulis BPK.

Kondisi tidak terduga muncul karena survei yang baru dilaksanakan setelah penandatanganan kontrak pembelian antara BAKTI dan masing-masing konsorsium. Padahal, sesuai kerangka acuan kerja, survei seharusnya dilakukan sebelum kontrak pembelian diteken.

Imbasnya, pembangunan BTS tak sesuai konsep awal “1 Desa 1 BTS”. Ada beberapa desa yang memiliki 2 BTS. Hal ini misalnya ditemukan di 8 desa di Kabupaten Deiyai, Papua, dan 1 desa di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat.

BAKTI berdalih, kondisi itu terjadi karena lokasi/desa yang ditetapkan pada tahap awal ternyata telah terkover sinyal 4G sehingga perlu ditetapkan lokasi baru.

Dampak lain dari survei yang terlambat itu adalah: dari 1.007 lokasi yang pembangunan fisik BTS-nya telah selesai, baru 381 lokasi yang mengantongi IMB. Sementara lahan yang telah mengantongi perjanjian pinjam pakai hanya 58
Ketut Sumedana menyatakan, walau anggaran proyek BTS telah cair 100 persen, tetapi pembangunannya tak kunjung tuntas.

Berdasarkan laporan Kominfo yang termaktub dalam hasil pemeriksaan BPK nomor 68A/LHP/XVI/05/2022, dari 4.200 BTS yang direncanakan dibangun pada 2021, hanya 32 BTS yang tuntas 100% dan dicatat sebagai aset tetap, sedangkan sisanya—yang berjumlah 4.168 BTS—belum selesai 100% dan dicatat sebagai konstruksi dalam pengerjaan.

Kominfo berkilah pembangunan BTS yang tak sesuai target disebabkan oleh pembatasan aktivitas terkait pandemi COVID-19. Pembatasan itu disebut bukan hanya berdampak pada pengiriman barang, tapi juga penghentian produksi oleh vendor di beberapa tempat.

Namun Kejagung tak menerima alasan tersebut. Ketut menyatakan, “Proyek tidak bisa begitu. Ketika surat kerja ditandatangani, ya harus selesai pada saat [yang ditentukan] itu.”

Seolah borok proyek BTS bertumpuk, BPK juga menemukan pembangunan BTS di lokasi yang tidak sesuai kontrak, serta adanya kelebihan pembayaran hingga Rp 18,7 miliar.

Mirisnya, ujar Kejagung, masyarakat di beberapa daerah justru kesulitan mengakses internet setelah BTS BAKTI Kominfo dibangun.

Kejagung kemudian meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menghitung potensi kerugian tersebut sebagai total loss. Sejauh ini, Kejagung memperkirakan dugaan kerugian di proyek BTS mencapai Rp 1 triliun.

“Kalau beli barang enggak bisa dimanfaatkan, enggak bisa dipakai, ya bisa saja jadi total loss,” ucap Ketut.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, Boyamin Saiman, menyebut kasus proyek BTS sebagai paket lengkap korupsi.

“Karena dugaan korupsinya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai pertanggungjawaban; bahkan barangnya jelek,” kata Boyamin.

Menanti Nasib Menteri Johnny
Berdasarkan proses penyidikan sejauh ini, Kejagung telah menetapkan 5 tersangka dalam kasus korupsi BTS. Mereka adalah Anang Achmad Latif (AAL) selaku Dirut BAKTI, Yohan Suryanto selaku Tenaga Ahli Hudev UI, Galubang Menak selaku Dirut PT Mora Telematika Indonesia, Mukti Ali selaku Account Director of Integrated Account Departement PT Huawei Tech Investment, dan Irwan Hermawan selaku Komisaris PT Solitech Media Sinergy.

Kejagung juga sudah memeriksa 160 saksi dan mencegah 25 orang bepergian ke luar negeri. Lembaga itu pun menyita sejumlah kendaraan dari seorang pegawai BAKTI Kominfo Elvano Hatorangan, serta menyita Rp 10 miliar dari berbagai saksi terkait pemeriksaaan tersangka Anang Achmad Latif.

Selain itu, Kejagung menerima pengembalian uang dari berbagai pihak, di antaranya Rp 36,8 miliar dari Dirut PT Sansaine Exindo Jemy Sutjiawan; Rp 1,2 miliar dari Hudev UI; Rp 600 juta dari Pokja Pemilihan BAKTI Kominfo; dan Rp 534 juta dari Gregorius Alex Plate, adik Menkominfo Johnny Plate.

“Kurang lebih Rp 66 miliar sudah kami dapatkan terkait kasus ini,” ucap Ketut.

Pengembalian uang oleh Gregorius Plate jelas jadi sorotan dan tengah diusut penyidik. Gregorius diduga menikmati fasilitas terkait jabatan kakaknya selaku Menkominfo.

Menteri Johnny makin tersudut karena santer disebut meminta Anang Achmad Latif untuk menyediakan dana sebesar Rp 500 juta per bulan sebagai dana operasional. Permintaan itu diduga disampaikan pada awal 2021 ketika proses tender masih berjalan.

kumparan menanyakan kabar tersebut kepada kuasa hukum Johnny Plate, Ali Nurdin, dan pengacara Anang Latif, Kresna Hutauruk, namun tak mendapat respons. Sementara Ketut Sumedana menyatakan, penyidik Kejagung tengah mendalami kabar tersebut.

Wakil Ketua Umum NasDem Ahmad Ali menyatakan, beberapa bulan lalu Johnny Plate pernah menyampaikan kasus korupsi BTS tersebut kepada internal NasDem. Ketika itu Plate menegaskan sama sekali tak terlibat.
“Dia sampaikan ke partai: tidak ada masalah,” ucap Ali kepada kumparan, Rabu (29/3).

Ali menilai terseretnya Johnny Plate di pusaran kasus BTS merupakan hal wajar lantaran posisi yang bersangkutan sebagai Menkominfo. Ali tak melihat ada isu politis terkait pemeriksaan rekan separtainya itu di Kejagung.

Kalaupun Johnny nantinya terbukti bersalah dan di-reshuffle, NasDem memastikan tak bakal mengintervensi, sebab bongkar pasang menteri adalah hak prerogatif presiden.

“Kalau dia (Johnny) salah, ya ganti saja. Kami tidak akan intervensi atau negosiasi,” ujar Ali.
NasDem mendukung kasus korupsi pembangunan BTS itu dibuka seterang-terangnya.

Kejagung menyatakan akan segera melakukan gelar perkara kasus korupsi BTS. Gelar perkara ini juga akan menentukan status hukum Menteri Johnny.

“Gelar perkara untuk keseluruhan, tapi sekaligus di dalamnya terkait dengan posisi JGP (Johnny Gerard Plate),” kata Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Kuntadi.(Sumber)