Kurang lebih 16 bulan lagi masa jabatan Jokowi sebagai presiden berakhir. Tepatnya, 20 Oktober 2024 Indonesia akan memiliki presiden baru.
Ada tiga kemungkinan calon presiden baru Indonesia. Anies Rasyid Baswedan, Prabowo Subianto atau Ganjar Pranowo. Mungkin salahsatu dari ketiganya sudah tertulis di Lauhul Mahfuzh.
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. al-Hajj: 70].
Sekalipun bersatunya jin dan manusia untuk menghalang-halangi seseorang calon presiden bila Allah subhanahu wata’ala berkehendak ia jadi presiden, cukup dengan mengatakan, “Kun fayakun” Jadilah! Maka terjadilah. [QS. Yasin: 82]
Bagaimana kalau takdir Allah calon presiden yang dijegal dan dihalang-halangi terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-8? Apakah Jokowi tak bakal nangis darah saat kewenangan hari ini berpindah tangan ke orang lain yang tak ia kehendaki sebagai penggantinya kelak?
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia tidak akan dibalasi melainkan sebanding dengan kejahatan itu…” [QS. Ghafir: 40]
Kita tinggal berikhtiar. Ikhtiar yang diridhoi Allah atau ikhtiar yang dimurkai Allah. Ikhtiar yang diridhoi Allah adalah menyelenggarakan pemilu yang jujur, adil dan bebas dari kecurangan dan manipulasi.
Sementara ikhtiar yang dimurkai Allah salahsatunya adalah merancang kecurangan dan mengatur-ngatur siapa yang boleh nyapres dan siapa yang harus dijegal agar tidak bisa nyapres. Apalagi ada operasi khusus untuk menjegal calon presiden tertentu.
Istana presiden itu simbol negara. Negara harus netral dalam penyelenggaraan Pilpres tahun 2024. Istana presiden tidak boleh digunakan sebagai posko pemenangan salahsatu calon presiden.
Presiden Soeharto telah memberikan contoh yang baik. Saat rakyat tak menghendakinya lagi sebagai presiden serta menghindari pertumpahan darah. Pak Harto dengan jiwa besar dan demi kepentingan nasional rela mengundurkan diri sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Padahal saat itu ABRI (TNI dan Polri sekarang) masih dalam genggaman Jenderal Besar Soeharto.
Demikian pula dengan Presiden ke-3, Prof. BJ. Habibie. Ketika laporan pertanggungjawaban ditolak MPR. BJ. Habibie tak ikut cawe-cawe pada pemilihan presiden oleh MPR hasil pemilu tahun 1999. BJ. Habibie telah memberi contoh sebagai negarawan sejati.
Bahkan Presiden ke-5, Megawati Soekarnoputri saat ikut berkompetisi pada pemilihan presiden langsung pertama di Indonesia tahun 2004. MSP tak menggunakan fasilitas dan simbol negara untuk menang walaupun akhirnya harus kalah dari pesaingnya, Susilo Bambang Yudhoyono yang akrab kita sapa SBY.
Sekarang Presiden Jokowi sedang diuji. Berhenti terhormat sesuai masa jabatannya berakhir atau mundur terhina karena rakyat menolak intervensi presiden dalam penyelenggaraan pemilu. Wait and see. Rakyat sedang menunggu Presiden Jokowi terpeleset politik dan hukum seperti Ahok pada tahun 2016. Allah punya skenario yang tak terbaca kecuali oleh orang beriman.
Sebagai pribadi boleh saja Jokowi mendukung salahsatu calon presiden. Akan tetapi sebagai presiden dan simbol negara, Presiden Jokowi harus netral. Walaupun agak sulit membedakan Jokowi sebagai pribadi dan Jokowi sebagai presiden. Dua-duanya melekat pada seorang manusia yang bisa tampil dengan seribu wajah.
Dalam hal ini, Presiden Jokowi bisa meniru Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres 2014, SBY netral. Padahal saat itu, besan SBY, Hatta Rajasa maju sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto. Kurang apa baiknya SBY pada Jokowi. Walaupun media center Cikeas sempat mengumumkan Prabowo-Hatta pemenang Pilpres 2014.
Indikasi Presiden Jokowi cawe-cawe dalam Pilpres tahun 2024 amat kentara. Beberapa kali Jokowi menggunakan Istana Negara sebagai tempat pertemuan dengan partai politik membahas Pilpres 2024.
Belum lagi ada indikasi kuat, Jokowi melakukan pembiaran politik terhadap upaya pembegalan Partai Demokrat oleh Kepala Staf Presiden, Moeldoko. Padahal semua orang tahu, Moeldoko bukan kader Partai Demokrat.
Demikian pula aroma penjegalan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden yang bakal maju di Pilpres 2024. Aroma itu tercium dengan amat jelas.
Penulis khawatir, pembegalan Partai Demokrat dan upaya penjegalan Anies Rasyid Baswedan sebagai calon presiden akan berpotensi besar menimbulkan krisis politik seperti tahun 1998.
Tentu saja pendukung Partai Demokrat termasuk SBY tak akan tinggal diam. Demikian pula dengan jutaan pendukung Anies Rasyid Baswedan.
“Maka apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepadamu hamba-hamba Kami yang perkasa, lalu mereka merajalela di kampung-kampung. Dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” [QS. al-Israa: 5]
Bandung, 8 Dzulqa’dah 1444/28 Mei 2023
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis