News  

Esensi Perubahan: Presiden Hari Esok Lebih Baik Dari Presiden Hari Ini

Sifat dasar manusia itu dinamis. Tidak statis alias tidak jumud. Manusia selalu bergerak, berkembang dan mengalami kemajuan sesuai dengan fitrahnya. Keadaan ini menyebabkan perlunya perubahan sebagai fitrah manusia.

Dalam bahasa sederhana, perubahan itu dari tidak ada menjadi ada, yang tidak baik digantikan dengan yang lebih baik. Bahkan yang sudah baik dan bermanfaat bagi semua dipertahankan. Bila perlu ditingkatkan agar lebih baik lagi.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah juga berbicara tentang perubahan:

تَغَيُّرُ اْلاَحْكَامِ بِتَغيُّرِ اْلاَحْوَالِ وَاْلأَزْمَانِ وَاْلأَمْكِنَةِ وَالْعَوَائِدِ وَالنِّيَّاتِ.

Perubahan hukum terjadi karena perubahan situasi sosial, zaman yang berganti, ruang atau tempat yang berbeda, tradisi dan motif yang berbeda.”

Negara tidak anti perubahan. Menurut konstitusi, tujuan kita bernegara untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan. Misalnya soal distribusi ekonomi tidak hanya terpusat di segelintir orang. Seperti kata bakal calon presiden Anies Rasyid Baswedan, “Memperbesar yang kecil tanpa mengecilkan yang besar.” Keadilan ekonomi untuk semua.

Hak-hak rakyat dilindungi. Miris sekali bila ada petinggi militer akan memiting rakyat tatkala rakyat berjuang atas tanah yang telah mereka tempati ratusan tahun atas nama investasi berkedok proyek strategis nasional.

Biaya hidup murah seperti zaman Presiden Soeharto yang dikenal sebagai Bapak Pembangunan. Kemerdekaan berpendapat, berserikat dan berkumpul seperti eranya Presiden BJ. Habibie. Meneguhkan nilai-nilai keberagaman dan toleransi seperti pada zamannya Abdurrahman Wahid. Layanan kesehatan melalui BPJS pada eranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Harga-harga terkendali bukan dikendalikan oleh mafia. Lonjakan angka pengangguran tinggi sebagai akibat makin susahnya mencari kerja. Sementara sikap negara mendua dengan membanjirnya TKA China masuk Indonesia.

Angka kemiskinan di Indonesia menurut Bank Dunia per Oktober 2022 melonjak tajam dari 54juta menjadi 67juta orang. Naik 13juta orang. Garis kemiskinan yang digunakan BPS sangat rendah dibandingkan Bank Dunia. Menurut Bank Dunia ketentuan garis kemiskinan ekstrem Rp 984.360/kapita/bulan. Sementara BPS menetapkan hanya Rp 505.469/kapita/bulan.

Amat wajar data kemiskinan timpang antara Bank Dunia dan BPS. Bank Dunia menetapkan orang miskin di Indonesia berjumlah 67juta orang sementara BPS mencatat per Maret 2022 orang miskin di Indonesia hanya 26,16 juta orang. Anehnya banyak yang puas dengan kondisi kemiskinan dan pemiskinan hari ini.

Mirisnya lagi, Indonesia peringkat 73 negara termiskin di dunia. Anehnya, propinsi yang kaya sumber daya alam seperti Papua dan Aceh masuk kategori propinsi termiskin di Indonesia. Jawa Tengah menduduki peringkat 15 sebagai propinsi termiskin di Indonesia dan propinsi termiskin di Pulau Jawa.

Dalam sebuah hadits lemah: “Hampir saja kefakiran (kemiskinan) itu menjadi kekafiran.” [HR. Imam al-Baihaqi]

Setiap lima tahun melalui pemilihan umum, rakyat berhak mengoreksi. Apakah perjalanan berbangsa dan bernegara telah sesuai dengan cita-cita para pendiri bangsa seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat.

Kita berharap tahun 2024 sebagai tonggak sejarah Indonesia baru. Orde perubahan. Bukan orde status quo. Apalagi presiden sekadar melanjutkan proyek pesanan korporasi, asing dan aseng.

Dari negara pengutang menjadi negara mandiri karena kita kaya akan sumberdaya alam. Dari 100 negara termiskin menjadi negara maju. Dan seterusnya.

Perubahan sebuah keniscayaan sebagai proses wajar dan alamiah. Perubahan tak sama dengan meteran pom bensin yang memulai dari nol. Segala sesuatu yang ada di dunia ini akan selalu berubah.

Perubahan juga sesuai dengan anjuran agama. “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”[QS. ar-Ra’d : 11]

Segala aspek kehidupan terus bergerak seiring dengan perjalanan kehidupan masyarakat modern. Termasuk perubahan tata kelola negara berdasarkan keadilan dan kesetaraan. Indonesia bukan negara korporasi. Bukan pula negara mafia.

Negara berpihak kepada rakyat bukan slogan politik belaka. Apalagi meninabobokan rakyat melalui proyek bantuan sosial. Kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Tentu kita ingin terjadinya penurunan jumlah orang miskin di Indonesia secara besar-besaran dalam waktu relatif singkat.

Perubahan menyentuh persoalan kehidupan yang dialami rakyat sehari-hari. Dalam kurun 10 tahun terakhir kita menyaksikan pemiskinan terhadap pribumi dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif oleh korporasi melalui tangan-tangan negara. Biaya hidup dan pendidikan mahal. Kesempatan kerja, kesehatan dan pendidikan telah menjadi industri yang makin menyengsarakan rakyat.

Ekonomi konstitusi sebagai ekonomi berdasarkan kekeluargaan hanya tertulis indah dan manis dalam konstitusi. Ekonomi Indonesia telah menjadi ekonomi kapitalistik liberalistik.

Perubahan menuju ke arah yang lebih baik.

Barangsiapa yang dua harinya (hari ini dan kemarin) sama maka ia telah merugi, barangsiapa yang harinya lebih jelek dari hari sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang terlaknat”.

Wallahua’lam bish-shawab.
Jakarta, 19 Rabiul Awwal 1445/5 Oktober 2023
Tarmidzi Yusuf, Kolumnis