News  

Pusat Riset Politik BRIN Sebut Putusan MK Soal Usia Capres-Cawapres: Terburu-buru, Problematik Hingga Bertabrakan Dengan Konstitusi

Berdasar kajian yang dilakukan oleh Kluster Riset Perwakilan Politik, Pemilu, Dan Otonomi Daerah (PPPOD) Pusat Riset Politik BRIN, polemik tentang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) MK 90/PUU-XXI/2023 mengenai batasan usia Capres dan Cawapres dalam Pemilu dianggap telah menimbulkan ketidakadilan atau intolerable.

Dalam press release yang diterima oleh redaksi Radaraktual pada, Rabu (18/10), Pusat Riset Politik BRIN memiliki setidaknya 5 poin respons terhadap putusan MK 90/PUU-XXI/2023 mengenai batasan usia Capres dan Cawapres hingga mengkategorikan putusan ini dalam lingkup memunculkan ketidakadilan.

Pertama, BRIN berpendapat bahwa kedudukan batasan usia Capres dan Cawapres dalam UU Pemilu merupakan open legal policy yang menjadi kewenangan pembuat undang-undang dalam hal ini DPR RI sebagai legislatif. Sedangkan kedudukan MK merupakan Yudikatif yang tak memiliki kewenangan dalam merubah UU.

“Akan tetapi, MK memutuskan bahwa syarat usia capres dan cawapres bukan open legal policy sehingga MK merasa berhak memeriksa dan memutus perkara tersebut. Sebagai ketentuan dalam ruang lingkup open legal policy, semestinya aturan batasan usia capres dan cawapres dibuat oleh pembuat undang-undang (DPR bersama-sama dengan presiden) melalui proses pembuatan legislasi yang berlaku,” tulis BRIN kepada redaksi Radaraktual.com.

Kedua BRIN menilai bahwa penambahan frasa, “…atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah” merupakan hal yang problematik.

“Sebab permohonan ini diajukan pada masa injury time menjelang pencalonan capres dan cawapres pemilu 2024. Terlebih lagi, putusan MK ini dikeluarkan 3 (tiga) hari sebelum jadwal pendaftaran capres dan cawapres 2024. Jelas, putusan MK ini digulirkan serba terburu-buru. Selain itu, hal ini mengindikasikan kepentingan politik pragmatis syahwat kekuasaan dalam keputusan yang diambil oleh MK,” dikutip dari keterangan tertulis Pusat Riset Politik BRIN.

Selanjutnya di poin ketiga, BRIN dengan tegas mengungkapkan bahwa putusan MK tersebut bertabrakan dengan konstitusi khususnya Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dan Pasal 28 D ayat 3 UUD 1945 yang menekankan persamaan kedudukan bagi setiap warga negara di dalam pemerintahan.

“Bila intensi MK ditujukan untuk memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk mencalonkan diri menjadi capres atau cawapres, semestinya MK tidak membatasi hanya bagi mereka yang sedang atau pernah menjabat jabatan politis melalui pemilu atau pilkada. Pembatasan ini justru memberikan “previledge” bagi figur tertentu,” tulis Pusat Riset Politik BRIN lagi.

Keempat, BRIN berpendapat bahwa putusan MK tersebut tidak secara serta merta memberikan garansi akan lahirnya politisi muda berkualitas selama tidak dibarengi dengan komitmen partai politik untuk membudayakan demokrasi internal partai. Putusan MK ini justru semakin menunjukkan adanya tendensi untuk menerapkan dinasti politik dalam kerangka demokrasi prosedural.

“Akibatnya, melalui putusan MK ini, integritas penyelenggaraan pemilu menjadi dipertanyakan. Sebab, pemilu yang seharusnya dilakukan secara jujur dan adil justru menjadi ajang kontestasi yang tidak sehat dan cenderung menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan,” papar BRIN dalam Press Releasenya di poin keempat.

Terakhir, BRIN berpendapat bahwa putusan MK ini memiliki tendensi menjaga iklim demokrasi yang sedang dibangun di republik ini. “Di tengah trend kemunduran demokrasi Indonesia, putusan MK ini justru semakin menjauhkan upaya kolektif bangsa untuk menuju konsolidasi demokrasi,” sebut BRIN dalam poin kelima.

Press release terkait respon putusan MK 90/PUU-XXI/2023 mengenai batasan usia Capres dan Cawapres dalam Pemilu ini disusun bersama oleh para peneliti yakni; Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA; Prof. Dr. Lili Romli, M.Si; Prof. Dr. Firman Noor, MA; Dr. Sarah Nuraini Siregar, M.Si; Dini Rahmiati, M.Si; Nyimas Letty Latifah M.Sc. M.Eng; Ridho Imawan Hanafi M.IP.; Yusuf Maulana S.AP; Devi Darmawan MA; dan Mouliza Donna Sweinstani M.IP. {redaksi}