News  

Kronologi 13 Tahun Kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo

Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas yang muncul sejak 29 Mei 2006, memorak-porandakan kehidupan tenang ribuan warga sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur. Kian deras semburan, menggiring mereka melanjutkan hidup di pengungsian atau menyingkir ke tempat lain.

Sebanyak 20 orang dilaporkan meninggal dunia akibat musibah yang dipicu oleh kegiatan pengeboran PT Lapindo Brantas itu. Sementara kerugian material ditaksir mencapai Rp 45 triliun lebih.

Tak kurang dari 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Ratusan hektare lahan pertanian milik warga lenyap dalam sekejap, termasuk juga ribuan ekor hewan ternak. Puluhan pabrik berhenti beroperasi dan membuat ribuan warga kehilangan pekerjaan.

Lumpur juga menenggelamkan kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lain. Memutus jalan raya, tol, jalur kereta, jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Areal seluas 15 desa di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon, Sidoarjo, lumpuh total.

Dampak kerugian yang begitu besar lantaran semburan lumpur panas berpusat di Kecamatan Porong, yang merupakan permukiman padat penduduk serta salah satu kawasan industri utama di Jawa Timur.

Penyebab semburan pun masih menjadi perdebatan. Pihak Lapindo mengemukakan dua teori, yakni pertama, semburan terjadi akibat kesalahan prosedur saat pengeboran. Kedua, lumpur panas menyembur secara kebetulan saat pengeboran, tapi penyebabnya belum diketahui.

Selain dua teori itu, dugaan penyebab semburan lumpur panas adalah akibat proses panas bumi atau dipicu gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter di kawasan Yogyakarta dan sekitarnya, yang terjadi dua hari sebelum semburan muncul, yakni pada 27 Mei 2006.

Lapindo akhirnya sepakat membayar ganti rugi sebesar Rp 3,8 triliun. Hingga kini, perusahaan milik Bakrie Group itu dilaporkan telah mengeluarkan dana sebanyak Rp 3,03 triliun. Sisanya kemudian ditalangi pemerintah, dengan kucuran dana sebesar Rp 827 miliar.

Namun faktanya, urusan ganti rugi tak kunjung tuntas sepenuhnya. Nasib sejumlah korban lumpur panas Lapindo masih terkatung-katung, kendati selama 13 tahun ke belakang telah berkali-kali mengadu dan menuntut pemerintah memberikan talangan pembayaran ganti rugi melalui APBN.

Di lain pihak, PT Minarak Lapindo Jaya dan PT Lapindo Brantas justru tengah tersengal-sengal ditagih hutang oleh pemerintah. Pembayaran hutang, bunga dan denda dana talangan senilai Rp 1,763 triliun baru dibayar Rp 5 miliar, meski telah melewati tanggal jatuh tempo 10 Juli 2019.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pihaknya bakal terus melakukan penagihan kepada perusahaan yang memiliki kaitan dengan Bakrie Group itu mengenai kewajibannya. Dia juga mengaku, pihaknya telah menerima surat dari pihak Lapindo yang menyatakan komitmen untuk melunasi.

“Kami akan menghubungi dan terus berkomunikasi kepada PT Minarak,” ujar dia di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Senin 15 Juli 2019.

“Kan suratnya sudah disampaikan ditandatangani pemiliknya. Itu kan sudah komitmen,” kata dia lagi. [tagar]