Apakah “keadilan” hanya bisa kita peroleh di ruang pengadilan? Jawabannya tentu saja, tidak. Keadilan itu soal rasa. Dia bersemayam dalam hati. Karenanya, banyak kasus yang diputus di pengadilan, dalam realitasnya bertentangan dengan “rasa keadilan” yang ada di hati publik.
Dalam perspektif seperti itulah kita harus melihat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak semua gugatan kubu Prabowo 27 Juni lalu. Kubu Prabowo sejatinya tidak kalah. Keterangan saksi-saksi kubu 02 telah membuka mata publik tentang apa yang sebenarnya terjadi. Target utamanya bukan kemenangan, tapi mengusik “rasa keadilan” publik.
Karenanya, meski menang di MK, sangat wajar jika kubu petahana masih menggebu untuk bertemu secara publik dengan Prabowo. Hal itu karena kesadaran, pemilik legitimasi politik di hati publik adalah Prabowo. Hal ini belaku tidak saja di kalangan pendukung Prabowo, namun bahkan di kubu petahana yang memiliki kecerdasan akal dan mau menggunakan nurani.
Apalagi sudah menjadi kesadaran umum para ahli hukum, peradilan pidana kita, mengarah pada apa yang disebut pakar hukum Luhut MP. Pangaribuan sebagai “peradilan sesat”. Ihwal peradilan sesat ini dikemukakan Luhut saat menjadi narasumber dalam diskusi tentang penegakan hukum dan keadilan di Lembaga Pengkajian MPR, tempat saya berkiprah, beberapa waktu lalu.
Yang dimaksud dengan “peradilan sesat” adalah sebuah proses peradilan dimana berbagai kasus ditangani dan diputuskan tanpa pemahaman yang benar dan sempurna dari aparat penegak hukum atas duduk perkaranya. Hal itu terjadi mulai tingkat penyelidikan dan penyidikan polisi, penuntutan jaksa sampai tingkat pengadilan oleh hakim.
Kondisi peradilan kasus seperti itu bukan terjadi karena kapasitas aparat penegak hukum (APH) rendah. Sistemlah yang membuat APH tidak mampu memahami duduk perkara dengan benar sehingga keputusannya sering “sesat” dan berlawanan dengan rasa keadilan masyarakat. Mari kita lihat ilustrasi sistem peradilan yang melahirkan keputusan sesat.
Luhut menjelaskan, para Hakim Agung di Mahkamah Agung (MA) rata-rata harus memutus 100 perkara dalam sebulan. Asumsikan saja para Hakim Agung itu memiliki waktu 20 hari kerja, maka per hari dia harus memutus paling tidak 5 perkara. Itupun dengan asumsi, para hakim itu menggunakan waktu hariannya untuk mengadili perkara.
Pertanyaannya, mungkinkah para hakim menguasai perkara dalam waktu sesingkat itu? Luhut tegas menjawab, tidak mungkin! Karenanya, biasanya yang terjadi, hakim di MA menguatkan putusan peradilan di bawahnya dengan asumsi perkara itu sudah diperiksa secara seksama di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Di Pengadilan Tinggi, kejadiannya sama. Pengadilan Tinggi mengasumsikan, peradilan pertama sudah memeriksa perkara secara baik dan benar sehingga putusannya dianggap sudah pasti “benar”. Karenanya, jika anda lihat pertimbangan keputusan di Pengadilan Tinggi, kalimatnya biasanya pendek, bahwa pertimbangan pengadilan pertama diambil sebagai pertimbangan Pengadilan Tinggi sendiri.
Padahal, menurut Luhut, hukum acara pidana yang out of date tidak memungkinkan hakim di pengadilan pertama mampu menangkap fakta-fakta yang muncul persidangan (question of a facts) menjadi pertanyaan hukum (question of the law) sampai akhirnya yakin terdapat kesalahan. Jika keputusan dirasa kurang memadai, biasanya hakim meminta para pihak untuk “mengulang” lagi proses peradilan di tingkat banding.
Selain itu, Sistem Peradilan Pidana (SPP) mengenal tiga tingkatan yaitu Pra-Ajudikasi (penyelidikan dan penyidikan), Ajudikasi (Sidang Pengadilan) dan Pasca Ajudikasi (upaya hukum). Dalam prakteknya selama ini, tingkat Pra-Ajudikasi yang dilakukan kepolisian lebih mendominasi. Status Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) sangat sentral dan biasanya perkara dianggap sudah selesai pada tahap Pra-Ajudikasi itu.
Sistem peradilan “sesat” ini pula yang terjadi dalam proses penanganan perkara sengketa hasil Pemilu Presiden (Pilpres) di MK dan juga di sengketa hasil Pemilu Legislatif (Pileg). Karenanya sejarah mencatat, tidak pernah ada perkara gugatan Pilpres yang dimenangkan penggugat. Dan kalau anda mau repot sedikit, kasus yang sama juga rata terjadi dalam sengketa hasil Pileg.
Yang ingin saya katakan, ada masalah terkait penegakan keadilan Pemilu selama ini. Hal itu bersifat sistemik terkait hukum acara sengketa Pilpres maupun Pileg di MK. Dengan sistem ini, para hakim konstitusi MK tidak memiliki kemampuan untuk memahami fakta-fakta di persidangan karena tumpukan bukti fakta harus dipahami hanya dalam tempo 14 hari!
Peradilan Pemilu kita, meminjam istilah Luhut, adalah sebuah Peradilan Pemilu Sesat yang putusannya bisa jadi tidak mencerminkan rasa keadilan kebanyakan masyarakat! Hakim MK, yang tidak mengenal peradilan banding, menumpukan pertimbangan putusan pada hasil rekapitulasi KPU yang dalam sistem peradilan pidana berwujud BAP aparat kepolisian.
Padahal, banyak pihak meragukan independensi penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu. Dalam diskusi soal penegakan hukum di Kalimantan Utara pekan lalu, seorang pakar hukum mengulas betapa tidak netralnya aparat kepolisian dan kejaksaan yang masuk dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu). Kita tahu, kepolisian dan kejaksaan adalah bagian dari pemerintah. Apalagi, Jaksa Agung adalah kader Parpol.
Jadi, apakah pasca keputusan MK selaku peradilan pemilu, isu kecurangan akan pupus? Tentu saja tidak. Karena sistem peradilan pemilu kita saat ini bisa dinilai sebagai peradilan sesat yang putusannya juga sesat. Pasca putusan MK, rezim ini akan berjalan lima tahun ke depan. Namun dia mewarisi isu menang curang yang menimbulkan kegelisahan akan legitimasi.
Catatan lain. Jika sistem politik dengan sistem peradilan sesat pemilu semacam ini dipertahankan sampai Pemilu 2024, pewujudan kedaulatan rakyat melalui Pemilu yang jujur dan adil tidak akan pernah terjadi. Politik akan dikuasai mereka yang bisa “menitipkan” orang di KPU dan Bawaslu serta menguasai polisi dan jaksa. Sistem ini perlu dibongkar! Itulah gunanya suara keras kelompok-kelompok oposisi.
Tabik! [sumber]
Akhmad Danial