Puan Ikhlas PDIP Kalah Pilkada 2024, Hasto Masih Sibuk Cari Kambing Hitam

Beda sikap Ketua DPP PDIP Puan Maharani dengan Sekjen Hasto Kristiyanto tanggapi kekalahan partai banteng moncong putih di gelaran Pilkada Serentak 2024. Yang satu kalem dan bijak, yang satu lagi masih cari kambing hitam.

Hasto masih menyalahkan Partai Cokelat alias Polri atas kekalahan partainya di empat provinsi Pulau Jawa. Dia juga turut membawa Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), yang disebutnya sebagai pemberi arahan untuk membuat partainya keok.

Agar lebih dramatis, Hasto juga membawa 6,5 juta rakyat Indonesia yang berkorban nyawa saat perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ditambah dengan narasi pembunuhan demokrasi.

“Betapa mahalnya kedaulatan rakyat itu. Karena itulah PDI Perjuangan akan terus mempersoalkan terkait dengan berbagai turunnya pembunuhan demokrasi kita,” kata Hasto dalam konferensi pers di Sekolah PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Rabu (4/12/2024).

Hasto pun menyebut pembunuhan demokrasi ini tidak lepas dari adanya dukungan parcok alias polisi. Dia menuduh polisi ikut campur dalam penyelenggaraan demokrasi bangsa.

“Akibat keterlibatan Partai Coklat, akibat dijauhkan demokrasi yang berkeadilan, yang mendasarkan hukum sebagai suatu kekuatan yang sangat penting di dalam menjaga tegaknya demokrasi itu sendiri,” tuturnya.

Dia juga menegaskan jika fenomena parcok di Pilkada Serentak 2024 akan dipersoalkan secara serius. Hasto bilang dampak dari pembunuhan demokrasi ini baru akan bisa kembali normal usai Indonesia melalui lima kali pemilihan umum.

“Ini adalah pembunuhan masa depan dari Indonesia yang telah diperjuangkan lebih dari 6,5 juta jiwa rakyat Indonesia yang mendambakan kemerdekaan suara rakyat adalah suara Tuhan,” jelasnya.

Di mata Hasto kemunduran demokrasi dimulai dari intervensi Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melakukan berbagai upaya perubahan tentang syarat-syarat calon presiden dan calon wakil presiden hingga meloloskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden.

“Apa yang disampaikan PDI Perjuangan ini terinspirasi dari pernyataan Prof. Ikrar Nusa Bhakti yang menegaskan bahwa perlu lima kali pemilu untuk memperbaiki kerusakan demokrasi akibat Jokowi,” ujarnya.

Sementara sebelumnya, Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengaku sudah legawa dengan hasil Pilkada Serentak 2024. Meskipun hasilnya tak sesuai ekspektasi, kalah di sejumlah provinsi besar di Pulau Jawa, utamanya di wilayah Jawa Tengah (Jateng) kandang banteng.

Apapun hasilnya, kata Puan, pihaknya sudah memaksimalkan upaya untuk memenangkan Andika Perkasa dan Hendrar Prihadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Tengah. Meskipun pada akhirnya usaha tersebut belum berhasil membawa keduanya menduduki kursi gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah Periode 2024-2029.

“Ya kita sudah mengevaluasi, mengkonsolidasikan, kita sudah berusaha secara maksimal ya namun rakyat Jawa Tengah sudah memilih gubernur dan wakil gubernur,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (3/12/2024).

Puan memang layak disebut si banteng adem. Dia lebih bijak dalam menyikapi kekalahan partainya di Pilkada 2024. Puan tak ingin berkoar-koar menuduh polisi mengintervensi Pilkada sebagaimana rekan-rekan partainya.

Ia mengatakan, dugaan keterlibatan Partai Cokelat alias polisi tak perlu dibuat riuh. Puan bilang, jika memang ada bukti adukan saja ke pihak berwenang. “Jika ada bukti kemudian memang terlibat secara nyata, saya meminta untuk dilaporkan,” kata Puan.

Kalah Pilkada, Momentum Berbenah
Tumbangnya banteng di Pilkada 2024 dipengaruhi banyak faktor, tak mutlak dari variabel eksternalnya saja. Seharusnya, kekalahan ini jadi momentum PDIP berinterospeksi. Jangan-jangan kegagalan ini karena mesin politik tidak jalan secara maksimal. Bisa juga karena mepet pasca Pileg dan Pilpres 2024, faktor logistik yang terkuras di laga sebelumnya turut memengaruhi.

“Atau karena struktur partai yang hanya mengandalkan pada figur calon untuk bergerak, bisa jadi juga karena makin menurunnya party id PDIP, di mana masyarakat cenderung pragmatis,” kata peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli, saat berbincang dengan Inilah.com.

Patut juga dipertimbangkan faktor gap generasi. Bukan mustahil, kekalahan ini disebabkan karena gaya berpolitik Megawati dan sejumlah elite PDIP, tidak related dengan generasi Milenial dan generasi Z yang merupakan pemilih mayoritas.

“Terkait tentang figur kepemimpinan Ibu Megawati, kalau untuk internal partai PDIP, beliau sebagai pemersatu dan soliditas partai. Tetapi untuk publik, khususnya anak-anak muda bisa jadi ingin ada perubahan, ada regenerasi kepemimpinan, mengingat ibu Mega memang sudah cukup lama memimpin partai ini,” ucapnya.(Sumber)