News  

Kepercayaan Publik terhadap Kejaksaan Agung Lebih Tinggi dari KPK dan Polri

Kejaksaan Agung (IST)

Lembaga Survei Indonesia (LSI) dalam survei terbaru terkait kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran memaparkan, Kejaksaan Agung masih menjadi lembaga penegak hukum yang paling dipercaya oleh publik.

“Tingkat kepercayaan publik kepada pemberantasan korupsi pada lembaga-lembaga yang melaksanakan pemberantasan korupsi, kejaksaan agung nomor satu, ada (77%) yang percaya dan cukup sangat percaya. Lalu diikuti dengan pengadilan, kemudian KPK dan Polri,” jelas Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan dalam paparannya secara daring, Minggu (9/2).

Djayadi memaparkan tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan sebesar (73%), diikuti KPK di angka (72%) dan Polri menempati peringkat terbawah dengan angka (71%).

“Di antara 4 lembaga penegak hukum utama ini, tampaknya Kejaksaan Agung yang paling percaya oleh masyarakat, kemungkinan besar itu terkait dengan sikap dan tindakan yang dilakukan oleh Kejagung selama ini melalui kasus-kasus yang berkembang dan menjadi perhatian masyarakat,” katanya.

Sementara itu, penilaian publik terhadap lembaga penegak hukum dalam pemberantasan korupsi masih menempatkan Kejaksaan Agung di peringkat teratas dengan angka 73%.

Selain itu, Djayadi memaparkan tingkat kepercayaan publik terhadap pengadilan dalam isu pemberantasan korupsi sebesar (71%), diikuti KPK di angka (69%) dan Polri menempati peringkat terbawah dengan angka (66%).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho menjelaskan faktor yang membuat kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung lebih tinggi dibandingkan KPK dan Polri. Menurutnya, Kejaksaan Agung dalam menangani perkara korupsi jauh lebih komprehensif dan kontinyu sehingga dapat dituntaskan hingga akhir, hal ini berbeda dengan KPK.

“Kejaksaan Agung menangani kasus korupsi secara kontinyu, langsung dilakukan penyelidikan, penetapan tersangka, penyidikan dan persidangan. Sementara kasus yang ditangani KPK sering tersisa, contoh kasus Harto itu kasus lama Harun Masiku beberapa tahun yang lalu, ada juga kasus AKBP Bambang yang disuap tapi tak bisa dilangsungkan persidangan, lalu kasus Gubernur Kalsel, Walikota Semarang dan lainnya, banyak yang tidak tuntas,” tuturnya.

Menurut Hibnu, kerja cepat dan tuntas dari Kejaksaan Agung dalam menuntaskan kasus korupsi berdampak pada tingkat kepercayaan publik yang lebih tinggi dibandingkan kepada KPK.

“Di KPK terkesan lamban, apakah karena saking banyaknya perkara atau mungkin karena SDM-nya kurang, tetapi sampai sekarang pun sudah ditentukan tersangka, masih belum bisa dipanggil. Padahal prinsip hukum kita itu penyelesaian harus cepat dan selesai. Ketika suatu kasus hukum tidak diselesaikan, maka pandangan masyarakat menilai buruk,” tuturnya.

Sementara itu, Hibnu menjelaskan bahwa rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap Polri disebabkan karena tidak adanya tindakan responsif secara institusional ketika para anggota melakukan tindakan melawan hukum.

“Terkait dengan kelembagaan itu, Polri agak rapuh contohnya banyak penembakan antara polisi dengan polisi, polisi dengan warga, belum lagi kasus pemerasan yang dilakukan oleh Polisi dan sebagainya. Ini sangat menjatuhkan nilai kepercayaan terhadap kepolisian. Jadi bagaimana mengendalikan manajemen internal itu sangat penting,” tegasnya. (Sumber)