Analis komunikasi politik Hendri Satrio (Hensa) menyoroti sejumlah pernyataan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang belakangan ini menarik perhatian publik. Menurutnya, Jokowi menyampaikan dua kritik tajam terkait situasi politik di Indonesia saat ini.
Salah satu kritik utama yang dilontarkan Jokowi adalah mengenai sistem kepartaian di Tanah Air. Dalam wawancara di acara Mata Najwa beberapa waktu lalu, Jokowi menyinggung wacana “partai perseorangan” hingga “Partai Super Terbuka”. Hensa melihat pernyataan ini bukan sekadar gagasan membentuk partai baru, melainkan kritik terselubung terhadap sistem kepartaian yang ada saat ini.
“Pernyataan Jokowi soal partai perseorangan dan Partai Super Terbuka bukan sekadar keinginan membentuk partai baru. Jika ia hanya mengejar kekuasaan, buat apa mendirikan partai setelah tak lagi bisa maju sebagai presiden? Ini jelas kritik terhadap sistem kepartaian yang ada,” ujar Hensa kepada wartawan.
Lebih lanjut, Hensa menjelaskan bahwa konsep partai perseorangan mengacu pada partai yang dapat dibentuk individu tanpa proses verifikasi ketat seperti saat ini. Sementara itu, Partai Super Terbuka menekankan kebebasan penuh bagi anggota dalam pengambilan keputusan. Gagasan ini, menurut Hensa, menunjukkan ketidakpuasan Jokowi terhadap dominasi elite partai dalam menentukan arah politik di Indonesia.
“Jokowi tampaknya melihat bahwa keputusan partai politik sering kali hanya ditentukan oleh segelintir elite, bukan oleh anggota secara luas. Konsep Partai Super Terbuka ini merupakan sindiran bahwa partai seharusnya lebih demokratis—dari anggota, oleh anggota, dan untuk anggota,” papar Hensa.
Selain menyoroti sistem kepartaian, Hensa juga menyinggung pernyataan Jokowi dalam pidato di HUT ke-17 Partai Gerindra. Dalam pidatonya, Jokowi menyebut tidak ada satu pihak pun yang berani mengkritik Presiden Prabowo Subianto dan bahkan menyebutnya sebagai presiden terkuat saat ini.
“Kalau Jokowi sampai mengatakan tak ada yang berani mengkritik Prabowo, ini artinya apa? Ini kritik kepada para aktivis demokrasi dan partai politik di DPR yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan,” tegas Hensa.
Menurutnya, pernyataan ini menunjukkan bahwa mekanisme checks and balances dalam sistem demokrasi Indonesia saat ini melemah. Jokowi seolah menantang para pengkritik agar lebih vokal dalam menjalankan peran sebagai oposisi.
Hensa menegaskan bahwa kritik-kritik tersebut muncul karena Jokowi kini berstatus sebagai warga sipil, bukan lagi pejabat negara. “Meski mantan presiden, Jokowi kini adalah warga biasa. Kritik yang ia sampaikan merupakan refleksi dari kegelisahan masyarakat terhadap situasi politik saat ini. Meskipun disampaikan dengan gaya santai dan bercanda, maknanya tetap tajam dan mengena,” jelas Hensa.
Menurutnya, cara Jokowi menyampaikan kritik ini menunjukkan kecerdasan politiknya. “Ia mengemas kritik dalam narasi yang terkesan netral dan penuh canda, tetapi sebenarnya mengandung pesan kuat. Canggih memang Jokowi,” pungkas Hensa. (Sumber)