News  

Ahok Tak Usah Banyak Bicara Seperti Hasto, Kalau Punya Data Pertamina Laporkan ke KPK

Mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), M. Praswad Nugraha, menilai bahwa mantan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tidak perlu terlalu banyak berbicara di media terkait kesiapannya menyerahkan data berupa rekaman dan notulensi dalam kasus dugaan korupsi di Pertamina.

Menurut Praswad, jika Ahok benar memiliki bukti keterlibatan oknum dalam korupsi tersebut, sebaiknya langsung melaporkannya kepada aparat penegak hukum (APH), bukan hanya mengumbar pernyataan di hadapan media.

“Kalau ngomong ke media saya akan buka, bongkar, dan masukkan ke penjara. Hukum Indonesia enggak begitu. Masukin orang ke penjara lewat media? Kan ada proses penegakan hukum,” ujar Praswad saat dihubungi Inilah.com, Minggu (2/3/2025).

Praswad juga mengingatkan Ahok agar tidak meniru langkah Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang sempat mengaku akan mengungkap skandal korupsi pejabat pemerintahan Presiden Jokowi setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Saat itu, Hasto berjanji akan membongkar kasus tersebut melalui sebuah video yang diklaim dibawa oleh pengamat militer Connie Bakrie ke Rusia.

“Jadi percuma kalau dia (Ahok) ngomong kayak gitu, sama seperti Hasto kemarin. Sampai sekarang, belum ada juga datanya diserahkan sejak Hasto ditahan (20/2). Data di Connie di Rusia juga enggak keluar,” katanya.

Praswad pun menantang Ahok untuk segera menyerahkan data skandal korupsi Pertamina kepada APH, baik Kejaksaan Agung (Kejagung), KPK, maupun Polri, pada Senin (3/3/2025). Ia memastikan akan mengawal laporan tersebut agar benar-benar diproses.

“Kalau Ahok punya datanya, 100 persen saya dukung. Ayo kita bongkar bareng-bareng. Bila perlu, saya temani Senin besok ke KPK, Polri, atau Kejaksaan. Kalau cuma ngomong ke media seperti Narasi, bilang ‘saya bongkar dan masukin penjara’, itu sulit,” tegasnya.

Sebelumnya, Ahok menyatakan kesiapannya diperiksa oleh Kejagung terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018–2023.

“Saya siap (dipanggil Kejagung). Saya senang membantu, dan saya senang kalau dalam sidang semua rekaman rapat itu diputar secara terbuka, biar seluruh rakyat Indonesia mendengar apa yang terjadi di Pertamina,” ujar Ahok dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (28/2/2025).

Meski demikian, Ahok mengaku tidak mengetahui secara detail dugaan pencampuran Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite, karena menurutnya hal tersebut sudah terlalu teknis.

Agar kasus ini semakin terang, politikus PDIP itu meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyelidiki laporan keuangan Pertamina, terutama terkait keuntungan perusahaan pada tahun 2024.

“Tolong penyidik, BPK cek Pertamina. Ramai-ramai cek laporan Pertamina, keuntungan 2024 itu berapa. Dan dicek procurement pengadaannya selama 2024 itu berapa miliar dolar, karena dalam RKAP dan RUPS yang sudah ditandatangani menteri, itu harus hemat 46 persen,” ujarnya.

Selain itu, Ahok juga meminta Kejagung untuk menelusuri data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengetahui aliran dana dari kontraktor Pertamina kepada pihak-pihak tertentu.

“Kalau mau lebih tegas lagi, cek apakah ada hubungan tanah, sertifikat, apartemen yang terkait dengan pejabat Pertamina, pejabat di ESDM, SKK Migas, ataupun ada oknum BPK. Periksa apakah harta mereka sesuai dengan penghasilannya,” tandasnya.

Kejagung sebelumnya menyatakan tidak menutup kemungkinan memeriksa Ahok dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding serta KKKS 2018–2023.

“Jadi siapa pun yang terlibat dalam perkara ini, baik berdasarkan keterangan saksi maupun dokumen atau alat bukti lainnya, pasti akan kita panggil untuk dimintai keterangan, siapa pun,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, di Jakarta, Kamis (27/2/2025).

Sebagai informasi, Ahok menjabat sebagai Komisaris Utama PT Pertamina sejak 22 November 2019 berdasarkan Keputusan Menteri BUMN No. SK-282/MBU/11/2019. Ia kemudian mengundurkan diri pada tahun 2024 dengan alasan ingin mendukung salah satu pasangan calon dalam Pemilihan Presiden 2024.

Hingga saat ini, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka dalam skandal korupsi tersebut. Dua tersangka terbaru adalah Maya Kusmaya, Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, serta Edward Corne, VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga. Keduanya langsung ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Modus operandi dalam kasus ini mencakup pengoplosan minyak berkadar oktan rendah dengan oktan tinggi serta pengadaan bahan bakar dengan sistem penunjukan langsung tanpa lelang.

Akibat praktik tersebut, harga BBM yang diperoleh jauh lebih mahal dari seharusnya. Kerugian negara akibat skandal ini diperkirakan mencapai Rp193,7 triliun, menjadikannya salah satu kasus korupsi terbesar dalam sejarah Indonesia.

Kejagung juga mengungkap adanya kesepakatan ilegal dalam pengadaan minyak mentah yang merugikan negara dalam jumlah besar. Selain Maya Kusmaya dan Edward Corne, tujuh tersangka lainnya adalah:

1. Riva Siahaan – Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga

2. Sani Dinar Saifuddin – Direktur Optimasi Feedstock dan Produk

3. Yoki Firnandi – Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shipping

4. Agus Purwono – Vice President Feedstock Manajemen Kilang Pertamina Internasional

5. Muhammad Kerry Andrianto – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa

6. Dimas Werhaspati – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa

7. Gading Ramadhan Joedo – Komisaris PT Jenggala Maritim.(Sumber)