Tim Pidana Khusus Kejaksaan Agung harus juga menelisik kontrak kerja sama jangka panjang pengadaan minyak mentah antara perusahaan minyak Irak, State Organization for Marketing of Oil (SOMO) dengan PT Pertamina (Persero).
Kontrak kerja sama itu terkait pengadaan satu juta barel minyak mentah jenis Basrah.
Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dikutip Sabtu (5/4).
Kata Yusri, “Jika Jaksa Agung dengan Jampidsus tidak mampu menuntaskan dengan menangkap semua pihak terlibat, kami minta Jaksa Agung dengan Jampidsus dengan kesatria mengundurkan diri.”
Bahkan, lanjut dia, pihaknya telah berkoordinasi dengan Ketua Umum Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI) Mirah Sumirat untuk membongkar kasus tersebut.
Yusri bilang, “Ketua Umun ASPIRASI Mirah Sumirat telah menyatakan akan menurunkan ribuan pekerja berunjuk rasa ke Kejaksaan Agung. Pekerja merupakan korban permainan mafia BBM selama ini.”
Di satu sisi, jelas Yusri, dirinya telah meminta direksi Pertamina dengan subholding untuk melakukan evaluasi dan perubahan menyeluruh.
Evaluasi dan perubahan tersebut terkait tata kelola impor (TKI), tata kelola organisasi (TKO), general terms & condition impor minyak mentah dan BBM serta LPG dan optimalisasi hilir.
Komentar Yusri, “Jika itu dilakukan bisa terjadi efisiensi dari singkronisasi kegiatan di PT Kilang Pertamina International ( KPI) dengan PT Pertamina Patra Niaga (PPN) dan PT Pertamina International Shipping (PIS) serta PT Pertamina Hulu Energi (PHE).”
Penjelasan Yusri, Pertamina pada 2012 telah meneken kontrak pengadaan minyak mentah Basrah dengan BUMN Irak, SOMO, dengan skema Crude Oil Processing Deal (COPD) sebanyak dua juta barel Basrah crude per bulan dengan menggunakan kilang SK Energi di Korea Selatan.
Ungkap Yursi, “Kemudian terjadi pengalihan penggunaan kilang SK Energi di Korea ke kilang Shell di Singapura.”
Dia menambahkan, pada Juni 2016, dirut Pertamina kala itu, Dwi Soetjipto, dan presdir PT Shell Indonesia saat itu, Darwin Silalahi, ikut menyaksikan penandatanganan tersebut.
Penandatanganan yang dimaksud adalah kontrak COPD antara SVP Integrated Supply Chain (ISC) Pertamina Daniel Purba dengan GM Product East Trading & Supply Shell International Eastern Trading Company (SIETCO) di Singapura.
Keterangan Yusri, “Skema COPD itu adalah Pertamina membeli minyak mentah dari SOMO Irak dan mengambil minyak mentah dari blok particapating interest (PI) Pertamina di West Qurna Irak (PIEP) dengan menggunakan kilang SK Energi awalnya dan belakangan kilang Shell yang hasil produknya merupakan BBM untuk dipasok ke Indonesia.”
Menurut Yusri, awal muncul kejanggalan penandatanganan kontrak, saat itu tim negosiasi awal dikomandoi (almarhum) Gigih Prokoso, malah tidak diikutsertakan ketika penandatanganan kontrak dilakukan di Irak.
Komentar Yusri, “Saat tanda tangan kontrak berlangsung, saat itu dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian era Presiden SBY, Hatta Rajasa dengan rombongan dirut Pertamina dengan menggunakan private jet.”
Dia menambahkan, “Hebatnya lagi, dalam rombongan pemerintah tersebut diikuti oleh Mohammad Riza Chalid. Dia juga yang menyiapkan private jet itu.”
“Jadi tidak mengherankan jika baru-baru ini beredar luas di sosial media hasil pemetaan pemain yang diduga terlibat pengaturan permainan pengadaan minyak mentah di Pertamina,” ujar Yusri.
“Munculnya tokoh Riza Chalid dan Hatta Rajasa yang berkonsorsium dengan pejabat ET dan saudaranya BT yang menggunakan operator lapangan bernama Mister James dan kawan-kawan diduga sebagai pengatur permainan tersebut,” kata dia.
Bahkan, lanjut Yusri, Direktur Utama PT Pertamina International Shiping (PIS) Yoki Firnandi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tersebut disinyalir merupakan keponakan dari Hatta Rajasa.
Yusri berkata, “Ini pula yang juga mesti diselidiki, apakah benar Yoki itu keponakan dari Hatta Rajasa.”
Markus dan Marjab di Pertamina
Terpisah, berdasarkan sumber dan jaringan informasi, pengamat intelijen Sri Radjasa Chandra mengungkapkan, muncul makelar kasus (markus) dan makelar jabatan (marjab) yang ternyata bergerak aktif di seputaran kasus korupsi Pertamina tersebut.
Radjasa berkata, “Modus operasinya yaitu dengan menggunakan atau bekerja sama dengan aktivis anti korupsi untuk melakukan praktik adu domba sesama penegak hukum.”
Penjelasan Radjasa, tampilan markus dan marjab ini di berbagai media seolah-olah ingin memerangi korupsi, namun ternyata di balik itu mereka punya agenda lain melindungi tokoh korupsi yang akan menjadi calon tersangka.
“Bahkan markus dan marjab ini tanpa malu-malu berani menjual dekat dengan dirut dan komut Pertamina untuk bisa mengatur proyek dan jabatan,” ungkap Radjasa.
Menurut Radjasa, muncul inisial ESB dan RHT, salah satu dari kelompok markus dan marjab tersebut yang konon bisa mengatur proyek dan jabatan di Patra Niaga, KPI, PHE, dan PIS serta anak usaha lainnya.
Tegas Radjasa, “Kita semua harus bahu membahu mendukung Presiden Prabowo Subianto untuk memerintahkan Kejaksaan Agung dan KPK serta BPK untuk mengusut tuntas mafia migas dan makelar kasus serta makelar jabatan.” (Sumber)