Pemerhati politik dan kebangsaan, M Rizal Fadillah, kembali menyuarakan kritik tajam atas dinamika kekuasaan nasional yang ia gambarkan sebagai “drama cinta segitiga politik” antara Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, dan Joko Widodo (Jokowi). Dalam tulisan opini terbarunya, Rizal menyebut hubungan ketiganya bukan lagi sekadar tarik-menarik kepentingan, tetapi telah berubah menjadi konflik emosional yang berbahaya bagi stabilitas politik nasional.
“Cinta segitiga itu adalah antara Prabowo, Megawati, dan Jokowi,” tulis Rizal kepada Radar Aktual, Kamis (10/4/2025).
Ia mengurai bahwa Megawati dan Prabowo pernah berpasangan di Pilpres 2009, sementara Jokowi adalah anak ideologis Megawati yang dua kali didukung sebagai Presiden. Namun kini, relasi ketiganya retak. Jokowi berbalik arah mendukung Prabowo dalam Pilpres 2024, bukan Ganjar Pranowo yang diusung PDIP. Inilah yang dianggap Rizal sebagai pangkal pengkhianatan.
“Mega benci Jokowi dan merasa dikhianati karena mendukung Prabowo sebagai capres, bukan Ganjar. Jokowi mulai benci Mega karena dipecat dari PDIP dan kini membalas dengan menekan Hasto Kristiyanto melalui KPK,” ungkapnya.
Menurut Rizal, sikap Prabowo yang tetap setia kepada Jokowi justru memperkeruh suasana. Padahal, Megawati yang kini menjadi kekuatan oposisi utama, menyimpan potensi besar untuk menggoyang kekuasaan Prabowo, terutama dengan dukungan masyarakat sipil dan kampus yang mulai menggeliat.
“Megawati tidak suka Prabowo karena ia memuja Jokowi yang kini menjadi musuhnya. Mega ingin Jokowi diadili, tapi Prabowo malah meneriakkan ‘Hidup Jokowi’,” sindir Rizal dalam tulisan bernuansa satiris tersebut.
Ia menyebutkan bahwa sinyal politik dari pertemuan diam-diam antara Megawati dan Prabowo di Teuku Umar harus dibaca lebih dalam. “Secara basa-basi politik, wajar Prabowo merangkul semua, tetapi di balik rangkulan itu ada syarat berat: Prabowo harus memilih.”
Rizal menyampaikan lima poin utama yang menurutnya menjadi indikator krisis yang sedang berlangsung:
Prabowo Harus Melepaskan Jokowi
Rizal menilai bahwa PDIP hanya akan bisa berdamai dengan Prabowo jika ia benar-benar menjauh dari pengaruh Jokowi. Hal ini termasuk menertibkan posisi Gibran dan menteri-menteri loyalis Jokowi dalam kabinet.
“Gabungan kelompok oposan dapat menggoyang bahkan menumbangkan Prabowo,” ujar Rizal. Ia menyoroti geliat gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil yang bisa diarahkan untuk menggerus legitimasi pemerintahan baru.
Hubungan Indonesia dengan China, tarif ekspor AS yang melonjak hingga 32%, serta gerakan tokoh-tokoh seperti George Soros menjadi tekanan eksternal yang bisa melemahkan Prabowo.
Menurut Rizal, Mega dapat menekan Jokowi dari berbagai arah—dari kasus Hasto, dinamika Kongres PDIP, hingga gonjang-ganjing seputar Puan Maharani dan BTS. Dalam situasi ini, Mega berada di atas angin.
Diplomasi “ACDC” Didiet Prabowo
Anak Prabowo, Didiet, disebut Rizal sedang menjalankan diplomasi yang rumit—bermain di dua kaki antara Jokowi dan Megawati, berusaha menjaga ayahnya agar tidak “konslet” di tengah tegangan politik tinggi.
Rizal menyampaikan bahwa situasi saat ini bukan hanya tentang kompromi kekuasaan, melainkan pertarungan arah bangsa. Jika Prabowo tidak segera menentukan pilihan—antara Jokowi atau Megawati—maka seluruh poros kekuatan akan membencinya.
“Cinta segitiga tidak mungkin dipertahankan. Prabowo harus memilih. Jika tidak, maka semua berubah jadi benci. Rakyat akan memilih jalan sendiri—antara reformasi atau revolusi,” tutup Rizal dalam analisis bernuansa ultimatum itu.