Polemik seputar dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali memasuki babak baru. Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) bersama sejumlah elemen masyarakat berencana mendatangi kediaman Jokowi di Jalan Kutai Utara, Solo, pada 16 April mendatang, dalam sebuah aksi yang disebut-sebut sebagai “silaturahmi konstitusional” untuk meminta klarifikasi langsung dari sang mantan presiden terkait keaslian ijazahnya dari Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kedatangan TPUA ini rupanya memicu respons cepat dari pihak Jokowi. Terinformasi bahwa Tim Kuasa Hukum Jokowi, yang disebut-sebut merupakan utusan dari Wakil Menteri Hukum dan HAM Otto Hasibuan, telah lebih dahulu menyambangi rumah pribadi Jokowi di Solo. Langkah ini diduga sebagai upaya koordinasi dan antisipasi menjelang kedatangan massa pada 16 April nanti.
Menurut pengamat politik dan kebangsaan M Rizal Fadillah, langkah ini menunjukkan kegamangan dari pihak Jokowi. Ia menyebut bahwa rumah pribadi Jokowi yang kini ramai dikunjungi ribuan orang setiap hari, sejatinya bukan sekadar menjadi destinasi wisata seperti yang dibanggakan sebagian pihak, melainkan juga mencerminkan rasa penasaran publik terhadap sosok yang hingga kini dinilai belum sepenuhnya jujur soal latar belakang pendidikannya.
“Mereka datang bukan hanya karena kagum. Bisa jadi ingin menyaksikan langsung kediaman seorang mantan presiden yang dianggap sebagai pembohong publik, atau bahkan kandidat manusia terkorup secara moral di dunia,” tulis Rizal dalam pernyataannya yang diterima Radar Aktual, Jumat (11/4/2025)
Lebih lanjut, Rizal menyebut bahwa situasi ini menunjukkan kekhawatiran tersendiri dari pihak Jokowi. Persiapan yang dilakukan menjelang kunjungan TPUA dinilainya sebagai bentuk ketidaksiapan atau bahkan ketakutan. “Ancang-ancang untuk kabur entah ke mana,” sindirnya.
Dalam narasi yang dibangun oleh Tim Kuasa Hukum Jokowi, mereka mencoba mengalihkan lokasi pertemuan dengan menawarkan agar pihak TPUA datang ke Jakarta. Namun Rizal menilai hal ini sebagai manuver yang mencurigakan. “Apa mereka bisa menunjukkan ijazah asli UGM di sana?” ujarnya retoris.
Menurut Rizal, sampai hari ini tidak pernah ada bukti otentik berupa ijazah asli UGM atas nama Joko Widodo yang ditunjukkan ke publik secara transparan. Ijazah yang beredar hanya salinan yang keasliannya kerap dipertanyakan karena ditemukan berbagai kejanggalan. Di sisi lain, klarifikasi dari pihak UGM sendiri dinilai sumir dan tidak menjawab substansi.
Secara hukum, Rizal juga meluruskan beberapa informasi yang dianggap menyesatkan. Ia menyebut bahwa tidak benar TPUA pernah kalah dalam perkara hukum yang menyangkut isu ini. Gugatan perdata pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dihentikan karena penggugat utama, Bambang Tri, ditahan secara tiba-tiba, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai bagian dari rekayasa untuk melemahkan perkara. Dalam proses perdata kedua, pengadilan hanya menyatakan gugatan Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau tidak diterima karena alasan teknis, bukan karena substansi gugatan ditolak.
Lebih penting lagi, dalam perkara pidana terkait tuduhan penyebaran kabar bohong soal ijazah, Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Semarang justru memvonis Bambang Tri dan Gusnur hanya dalam konteks “ujaran kebencian”, bukan karena terbukti berbohong soal substansi ijazah. Ini memperkuat asumsi bahwa persoalan asli terkait validitas dokumen pendidikan Jokowi belum pernah benar-benar dibuktikan secara terang di pengadilan.
Rizal memperingatkan bahwa pernyataan Kuasa Hukum Jokowi yang menyebut TPUA telah kalah bisa dikategorikan sebagai penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik, yang justru dapat berbalik menjadi bumerang hukum bagi mereka.
Kini, fokus publik tertuju pada dua titik penting. Pertama, pada aksi TPUA tanggal 16 April di Solo yang digadang-gadang sebagai momen pembuka tabir kejelasan ijazah Jokowi. Kedua, pada pertemuan internal di UGM yang dijadwalkan pada 15 April, yang menurut Rizal bisa menjadi penentu langkah hukum selanjutnya terhadap pihak universitas maupun Joko Widodo sendiri, tergantung seberapa jujur dan transparan klarifikasi yang diberikan.
“Honesty is a very expensive gift. Don’t expect it from cheap people,” pungkas Rizal, mengutip ucapan Warren Buffett untuk menggambarkan situasi yang menurutnya sarat manipulasi dan penghindaran tanggung jawab moral maupun hukum.
Polemik ini menunjukkan bahwa dalam era digital dan keterbukaan informasi, masyarakat tidak lagi mudah dibungkam oleh klaim sepihak. Kebenaran, pada akhirnya, tetap akan menemukan jalannya—meski melalui jalan terjal dan berduri.