Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti praktik pemeriksaan barang masuk yang rutin dilakukan Bea Cukai. Praktik yang saat ini berjalan dinilai berpotensi besar menciptakan aksi korupsi serta beban administrasi yang cukup tinggi.
Dikutip dari laporan National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers yang dirilis pada akhir Maret 2025, United State Trade Representative (USTR) membahas daftar hambatan perdagangan dari 59 negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.
Diketahui, laporan ini dirilis beberapa hari sebelum Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tarif impor resiprokal. Khusus Indonesia, salah satu yang disoroti melalui laporan NTE ini ialah hambatan di Bea Cukai dan fasilitas perdagangan.
“Perusahaan-perusahaan AS secara teratur melaporkan tantangan dengan praktik bea cukai Indonesia, khususnya terkait penilaian bea masuk,” tulis USTR, dikutip Sabtu (19/4/2025).
USTR mengatakan, pejabat Bea Cukai Indonesia sering mengandalkan jadwal harga referensi daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penilaian utama. Padahal, nilai transaksi seharusnya menjadi metode utama, sebagaimana disyaratkan oleh Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) World Trade Organization (WTO).
Tidak hanya itu, USTR menyebut, para eksportir AS juga melaporkan penentuan nilai bea masuk yang kerap kali berbeda-beda di berbagai wilayah. Hal ini terjadi meski untuk produk yang sama.
Selanjutnya, juga disoroti tentang Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 16 Tahun 2021 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan Luar Negeri. Di dalamnya, diatur kewajiban verifikasi pra-pengiriman oleh perusahaan yang ditunjuk (surveyor) untuk berbagai macam produk termasuk elektronik, tekstil dan alas kaki, mainan, makanan dan minuman, dan kosmetik.
Namun demikian, yang menjadi permasalahan hingga 31 Desember 2024, Indonesia belum memberitahukan aturan tersebut kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-pengiriman.
Begitu juga dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190 Tahun 2022 yang menetapkan operasi kepabeanan untuk barang tidak berwujud seperti transmisi atau unduhan elektronik, termasuk persyaratan prosedural dan klasifikasi berdasarkan Bab 99 daftar tarif kepabeanan Indonesia.
“Para pemangku kepentingan melaporkan bahwa peraturan tersebut menciptakan beban administratif yang signifikan pada industri AS dengan memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak terdefinisi dan tidak pasti,” tulis USTR.
USTR mengatakan, AS telah menyampaikan kekhawatirannya tentang tindakan ini ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023. Selain itu, USTR juga menyoroti tentang ketentuan imbalan atau ‘bonus’ petugas bea cukai Indonesia hingga 50% dari nilai barang yang disita atau dari jumlah bea yang terutang.
Padahal, berdasarkan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus menghindari pemberian insentif serupa. Menurutnya, sistem ini berpotensi menimbulkan praktik korupsi hingga beban biaya administrasi tinggi.
“Indonesia adalah salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih memiliki sistem insentif tersebut. Sistem tersebut menjadi perhatian karena potensi korupsi dan tambahan biaya, ketidakpastian, serta kurangnya transparansi,” terang USTR.(Sumber)