Direktur Center for Public Policy Studies (CPPS), Yusuf Blegur, menyoroti dinamika hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo pasca Pilpres 2024 yang dinilai memunculkan ketegangan dan potensi dualisme kekuasaan dalam pemerintahan.
Dalam pernyataannya, Blegur menegaskan bahwa kepemimpinan nasional idealnya berjalan dalam satu komando, bukan dalam struktur kekuasaan ganda.
“Dalam kepemimpinan nasional seharusnya tak boleh ada matahari kembar, idealnya hanya ada kesadaran fungsi dan posisi. Semua boleh punya ambisi dan kompetisi, namun tetap didasari mentalitas patriotisme dan nasionalisme sejati demi NKRI,” ujarnya kepada Radar Aktual, Selasa (22/4/2025).
Yusuf Blegur menilai relasi politik antara Jokowi dan Prabowo kian memperlihatkan ketidakharmonisan. Meski awalnya tampak sinergis dengan kemenangan pasangan Prabowo-Gibran, dinamika politik terkini menunjukkan adanya jarak dan gesekan kepentingan.
Ia menyebut sejumlah manuver politik dari kedua tokoh, seperti pertemuan strategis Prabowo dengan Megawati dan pertemuan Jokowi dengan jajaran elite serta dukungan dari unsur Polri dan para purnawirawan TNI, sebagai sinyal adanya kontestasi kekuasaan di balik layar.
“Jika benar antara Jokowi dan Prabowo dalam posisi diametral dan saling berhadap-hadapan demi mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan, bagaimana nasib rakyat yang sudah terpuruk begitu dalam?” tutur Blegur.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa rakyat akan menjadi korban dari polarisasi elite ini jika tidak segera ditangani.
“Jika hanya Jokowi yang punya Polri dan Prabowo yang punya TNI, bukankah TNI-Polri itu lahir dari rahim rakyat? Jika tak punya siapa-siapa lagi, apakah rakyat harus bergantung pada preman?”
Yusuf Blegur mengingatkan agar semua pihak kembali kepada semangat kebangsaan dan satu tujuan nasional. Menurutnya, masa depan Indonesia tidak boleh digadaikan demi ambisi kekuasaan.