News  

Ketua MUI Kritik Keras Wacana Vasektomi Jadi Syarat Bansos oleh Gubernur Jawa Barat

KH Cholil Nafis (IST)

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis, melayangkan kritik tajam terhadap kebijakan kontroversial Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mewacanakan vasektomi sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos).

Wacana ini disampaikan Dedi sebagai salah satu cara untuk menekan angka kemiskinan di wilayahnya.

Melalui akun media sosial X (sebelumnya Twitter), @cholilnafis, sang ulama menegaskan penolakannya terhadap program tersebut. Ia menyebut bahwa vasektomi bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan kemiskinan masyarakat.

“ Pertumbuhan penduduk kita stabil dan malah cenderung minus. Menghentikan kemiskinan itu dg membuka lapangan kerja bukan menyetop orang miskin lahir. Inilah pentingnya dana sosial,” ujar KH Cholil Nafis dikutip Jumat (2/5/2025).

Cholil menilai bahwa permasalahan utama yang dihadapi rakyat Indonesia adalah minimnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Oleh karena itu, menurutnya, alokasi dana sosial seharusnya difokuskan pada upaya menciptakan pekerjaan, bukan pada pembatasan kelahiran melalui metode vasektomi.

Lebih lanjut, dosen UIN Syarif Hidayatullah itu menegaskan bahwa dalam hukum Islam, tindakan pemandulan secara permanen seperti vasektomi termasuk haram, kecuali ada alasan syar’i yang kuat.

“Islam melarang pemandulan permanen. Yg dibolehkan mengatur jarak kelahiran,” jelasnya.

Selain itu, ia juga menyoroti bahwa saat ini pertumbuhan penduduk di Indonesia cenderung stabil, bahkan mulai menunjukkan penurunan. Dengan kondisi tersebut, wacana pembatasan kelahiran tidak lagi relevan sebagai strategi utama mengatasi kemiskinan.

Sebagai informasi, usulan vasektomi ini disampaikan oleh Dedi Mulyadi dengan dalih bahwa sebagian besar keluarga penerima bansos memiliki anak dalam jumlah besar. Ia menilai pengendalian kelahiran melalui vasektomi dapat mencegah keluarga miskin menambah beban ekonomi.

Namun, wacana tersebut langsung menuai kontroversi di publik, khususnya dari kalangan tokoh agama, yang menilai pendekatan itu tidak hanya keliru secara sosial tetapi juga melanggar prinsip-prinsip syariat Islam. (Sumber)