Menteri Hak Asasi Manusia (MenHAM) Natalius Pigai menyatakan dukungannya terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang mengirim siswa bermasalah ke barak militer sebagai bagian dari program pembinaan karakter.
Menurutnya, kebijakan tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
“Yang terkait dengan kebijakan Gubernur Jawa Barat yang mau mendidik anak-anak nakal di barak tentara dalam perspektif HAM saya pertegaskan tidak melanggar HAM,” kata Pigai kepada wartawan di Gedung Kementerian HAM, Jakarta Selatan, dikutip Jumat (9/5/2025).
Ia menegaskan bahwa inisiatif ini bukan bentuk hukuman fisik, melainkan metode pendidikan untuk menanamkan kedisiplinan, mental tangguh, dan rasa tanggung jawab.
“Kalau pendidikan yang berorientasi pada pembentukan disiplin, pembentukan mental, pembentukan karakter dan pembentukan tanggung jawab maka tidak melanggar HAM dan kami mendukung pemerintah Jawa Barat itu,” ujarnya.
Pigai bahkan menyarankan agar pendekatan serupa dapat diuji coba secara nasional dengan pengawasan dari Kementerian Pendidikan apabila terbukti memberikan hasil positif.
Pigai menilai bahwa pembinaan karakter di lingkungan barak militer merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk menyiapkan sumber daya manusia berkualitas demi menyambut visi Indonesia Emas 2045.
“Menyiapkan generasi-generasi yang tanggung jawab, yang disiplinnya tinggi, yang berkarakter, maka akan lebih mudah bagi kita. Ini sebenarnya untuk kepentingan bangsa dan negara di masa yang akan datang,” ungkapnya.
Ia menekankan pentingnya keterbukaan dalam pelaksanaan program agar tidak disalahartikan sebagai bentuk kekerasan.
“Transparansi di dalam dunia pendidikan itu penting… semuanya bisa dilihat dan bisa dijaga sehingga orang-orang yang dididik itu tidak seperti opini-opini negatif yang dikembangkan,” tambah Pigai.
Komnas HAM sebelumnya menyampaikan kekhawatiran atas dampak psikologis dari program tersebut, menyebutnya berpotensi melanggar HAM, terutama setelah muncul laporan siswa yang menangis selama pembinaan.
Menanggapi itu, Pigai menyatakan bahwa setiap kasus harus dilihat secara individual, bukan dijadikan dasar untuk menilai keseluruhan program.
“Komnas HAM tidak merujuk kepada undang-undang apapun… saya bilang corporal punishment saya close maka tidak ada rujukan undang-undang HAM yang bertabrakan,” ujarnya.
Pigai menambahkan bahwa pembinaan di barak bukan sekadar penanaman nilai kewarganegaraan, tetapi juga bagian dari upaya peningkatan produktivitas dan pengembangan kemampuan siswa secara menyeluruh, termasuk aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Menurut Pigai, pendekatan seperti ini justru mendukung agenda nasional dalam peningkatan kualitas pendidikan dan pemerataan akses bagi semua kalangan.
“Supaya kualitas sumber daya manusia kita itu lebih baik, pendidikan yang berkualitas bahkan orang-orang miskin pun disediakan sekolah khusus,” katanya. (Sumber)