Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai Indonesia belum pantas menjadi negara maju seperti yang diumumkan oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR).
USTR mencoret Indonesia dari daftar negara berkembang dan dinyatakan sebagai negara maju dalam perdagangan internasional. Selain Indonesia, ada China, Brasil, India, dan Afrika Selatan yang ‘naik level’ jadi negara maju.
Ekonom senior Indef, Aviliani mengungkapkan banyak indikator yang membuat Indonesia tidak pantas menjadi negara maju seperti yang diumumkan oleh AS.
“Pemerintah jangan bangga dulu, karena berdasarkan indikator kita tidak bisa masuk ke sana,” kata Aviliani saat diskusi ‘Salah Kaprah Status Negara Maju’ di ITS Tower, Jakarta, Kamis (27/2/2020).
Aviliani menyebut penilaian AS yang menjadikan Indonesia sebagai negara maju kurang tepat meski Indonesia negara G20 yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi setelah China dan India.
Dia bilang penilaian untuk pangsa pasar ekspor Indonesia yang di atas 0,5% memang benar. Sebab saat ini posisinya sudah berada di level 0,9%.
Namun untuk pertumbuhan ekonomi, menurut Aviliani lain cerita. Dengan pertumbuhan ekonomi di level 5%, angka tersebut bagi Indonesia sebenarnya masih sangat kecil.
Jika diurutkan, peringkat Indonesia ada di urutan 120 dari 200 negara. Bahkan berdasarkan indikator World Bank, pendapatan per kapita Indonesia yang sebesar US$ 3.840 itu termasuk kategori kelas menengah-bawah.
Khusus untuk pangsa ekspor, Aviliani bilang kontribusinya terhadap PDB Indonesia masih kecil yaitu sekitar 20-25% meski pangsa ekspornya sudah di atas 0,5%. Berbeda dengan Vietnam yang kontribusi ekspor terhadap PDB mencapai 105%.
“Indonesia masih kategori low middle income, penduduknya mayoritas di pertanian, pertanian masih mendominasi angkatan kerja sekitar 30 juta, sedangkan negara maju ada di industri dan jasa,” ujarnya. {detik}