News  

Faisal Basri: Resesi Ekonomi RI Bakal Panjang, Telan Ongkos Sosial Ekonomi Yang Besar

Pertumbuhan ekonomi di kuartal II tahun ini mengalami kontraksi yang sangat dalam, minus 5,32 persen secara tahunan (year on year/yoy), ancaman resesi pun membayangi. Ini pertama kalinya perekonomian Indonesia kembali mengalami kontraksi setelah krisis ekonomi tahun 1999.
Ekonom Senior Faisal Basri menilai, sulit rasanya perekonomian bisa pulih dengan cepat di kuartal selanjutnya. Mengingat kasus COVID-19 di Indonesia juga belum mencapai puncak.
“Mengingat sampai sejauh ini pandemi COVID-19 belum kunjung mencapai puncak kurva, besar kemungkinan kontraksi ekonomi bakal berlanjut pada triwulan mendatang, walaupun tak sedalam triwulan kedua.”
“Jika demikian, berarti dua triwulan berturut-turut mengalami kontraksi, sehingga Indonesia bakal memasuki resesi,” ujar Faisal seperti dikutip dalam blognya faisalbasri.com, Sabtu (8/8).
Faisal juga menyarankan agar pemerintah tak memaksakan diri untuk terhindar dari resesi dengan mengutamakan pemulihan ekonomi daripada pengendalian COVID-19 itu sendiri. Menurut dia, jika hal ini dipaksakan, resesi di Indonesia bisa lebih panjang.
“Pemerintah sepatutnya tidak memaksakan diri agar terhindar dari resesi dengan mengutamakan agenda pemulihan ekonomi ketimbang pengendalian COVID-19. Jika dipaksakan, resesi berpotensi lebih panjang sehingga menelan ongkos ekonomi dan sosial kian besar,” jelasnya.
Pemerintah diminta untuk realistis, dengan cara mengendalikan COVID-19 terlebih dulu. Sehingga perekonomian bisa kembali positif pada kuartal IV tahun ini.
“Lebih realistis jika pemerintah berupaya maksimum mengendalikan COVID-19 agar perekonomian bisa tumbuh positif kembali pada triwulan terakhir tahun ini sehingga tahun 2021 bisa melaju lebih kencang,” tulisnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hampir seluruh sektor ekonomi mengalami pertumbuhan yang minus di periode April-Juni lalu. Paling parah adalah sektor transportasi, minus 30,84 persen (yoy). Padahal di kuartal II tahun lalu, sektor ini masih tumbuh 5,88 persen (yoy).
Secara rinci, transportasi yang paling tertekan terjadi pada angkutan udara, minus 80,23 persen (yoy) selama kuartal II. Disusul oleh angkutan rel yang minus 63,75 persen (yoy).
Begitu juga dengan angkutan darat dan laut yang mengalami penurunan, masing-masing menjadi minus 17,65 persen (yoy) dan 17,48 persen (yoy) di kuartal II 2020.
Selain sektor transportasi dan pergudangan, sektor akomodasi makanan dan minuman juga mengalami penurunan 22,02 persen (yoy). Sektor perdagangan juga turun menjadi minus 7,57 persen (yoy), didorong oleh merosotnya penjualan mobil dan sepeda motor.
Industri pengolahan pun terkontraksi atau minus 6,19 persen (yoy) di kuartal II 2020. Hal ini didorong oleh industri alat angkutan yang anjlok 34,29 persen (yoy), industri tekstil dan pakaian jadi yang minus 14,23 persen (yoy), dan industri pengolahan tembakau yang minus 10,84 persen (yoy).
Hanya sektor informasi dan komunikasi yang tumbuh sebesar 10,88 persen (yoy) pada kuartal II 2020. Sementara itu, sektor pertanian masih tumbuh positif 2,19 persen (yoy), meskipun mengalami perlambatan dibandingkan kuartal II 2019 yang mampu tumbuh 5,33 persen (yoy).
Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen terbesar dalam PDB dengan kontribusi 57,85 persen, akhirnya merosot atau mengalami kontraksi sebesar 5,51 persen (yoy). Padahal di kuartal II tahun lalu, konsumsi masih tumbuh 5,18 persen (yoy).
“Kejadian ini hampir hampir sama parahnya dengan krisis 1998, ketika pertumbuhan konsumsi rumah tangga minus 6,17 persen. Di era Orde Lama sejak 1960, konsumsi rumah tangga hanya dua kali mengalami kontraksi, yaitu tahun 1963 sebesar 3,95 persen dan tahun 1966 sebesar 1,46 persen,” tulis Faisal Basri.
Suntikan APBN berupa bantuan sosial bagi penduduk miskin dan rentan serta terdampak pandemi COVID-19 dinilai sangat membantu untuk menahan kemerosotan lebih dalam.
“Kemerosotan PDB tertolong oleh ekspor neto barang dan jasa (ekspor barang dan jasa dikurangi impor barang dan jasa). Ini terjadi karena impor merosot lebih tajam ketimbang penurunan ekspor, masing-masing 16,96 persen dan 11,66 persen.”
“Karena konsumsi pemerintah juga turun, maka semua komponen pengeluaran telah mengalami kontraksi,” tambahnya. {kumparan}