News  

Tanpa Akuntabilitas, Genose UGM dan i-Nose ITS Tak Ada Bedanya Dengan Batu Ponari

Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan hidung elektronik bernama I-Nose untuk melakukan penapisan COVID-19. Berbeda dengan Genose, alat serupa buatan Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menggunakan uap napas, I-Nose memanfaatkan uap dari keringat ketiak.

“Saya mencari suatu media yang tidak menular. Nah, keringat itu tidak menularkan virus,” pimpinan proyek I-Nose Riyanarto Sarno menjelaskan mengapa keringat yang dipakai kepada reporter Tirto, Rabu (24/2/2021).

Riyanarto yang juga guru besar Teknik Informatika ITS sudah lima tahun terakhir mengembangkan hidung elektronik.

Sebelumnya alat ini digunakan untuk mendeteksi kandungan formalin pada makanan, tingkat kematangan buah, hingga kandungan daging babi dalam daging sapi pasaran. Pandemi COVID-19 yang menghantam Indonesia sejak awal 2020 lalu membuatnya berpikir untuk memodifikasi alat itu.

Riyanarto menjelaskan bahwa virus itu menghasilkan reaksi tertentu pada tubuh, misalnya antibodi yang dideteksi oleh rapid tes serologi atau volatile organic compound dalam uap napas yang dideteksi oleh Genose.

Berdasarkan penelitiannya, rupanya volatile organic compound yang mencirikan infeksi COVID-19 juga ditemukan pada keringat. Tetapi Riyanarto belum mengetahui lebih detail tentang gas itu karena membutuhkan penelitian lebih lanjut.

“Alhamdulillah ketemu pencirinya itu apa secara teknis. Kalau secara kedokteran bisa lebih rinci lagi,” kata Riyanarto.

Kini alat itu sudah dibawa ke Rumah Sakit Islam Jemursari, Surabaya untuk melakukan uji profiling. Di sini, data bau keringat dari orang-orang yang positif COVID-19 akan dikumpulkan melalui selang kecil kemudian disalurkan melewati sensor array untuk dianalisis.

I-Nose akan mengingat dan mempelajari polanya. Hasilnya I-Nose diharapkan mampu mencocokkan keringat sampel dengan data yang dimiliki dan memberikan hasil reaktif atau non-reaktif.

Ryanarto mengatakan potensi false positive dan false negative terbuka selama sampel yang masuk masih sedikit, tapi akan lebih baik seiring makin banyaknya sampel yang dipelajari.

“Kami lakukan terus uji profil, mencari data yang banyak karena makin banyak data, makin bisa dipakai untuk pembelajaran. Karena metodenya artificial intelligence, makin banyak data makin pintar dia,” katanya.

Salah satu founder KawalCovid19 Elina Ciptadi mengapresiasi upaya inovasi dalam penapisan COVID-19, tetapi ia menilai tidak perlu euforia berlebih atas temuan ini.

Ia mengharapkan hasil uji klinis dari I-Nose dapat dibuka ke publik sehingga bisa ditinjau oleh ilmuwan lain dan masyarakat pun lebih yakin menggunakannya.

“Genose masih jadi perdebatan karena data uji klinisnya enggak di-publish, padahal kalau memang yakin dengan efektivitasnya, kenapa takut?,” Elina membandingkan kepada Tirto, Kamis (25/2/2021).

Pakar biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo pun menilai inovasi dari ITS itu semestinya dibeberkan melalui jurnal penelitian, media mainstream, atau bahkan media sosial. Ada dua hal yang perlu dijabarkan.

Pertama cara kerja alat tersebut, jenis uap, atau pola seperti apa yang dideteksi. “Kalau PCR mendeteksi langsung partikel biologis virus atau proteinnya,” kata Ahmad kepada reporter Tirto, Kamis.

Kedua, mengenai metode yang digunakan untuk membuktikan kinerja dari alat tersebut. Ketika masih di tahap uji profil atau training set seperti sekarang, I-Nose semestinya menjaring data data dari dua kelompok, yakni mereka yang positif dan negatif COVID-19.

Penting pula memperhatikan demografi. Usia dua kelompok itu harus seimbang, demikian pun gejalanya (misal: orang sesak napas karena COVID-19 dan orang sesak nafas bukan karena COVID-19), dan kondisi lain harus seimbang sehingga pembedanya hanya positif atau negatif COVID-19.

Jika kriteria ini terpenuhi, maka bisa dikatakan I-Nose atau alat serupa dilatih dengan data yang benar. “Masalahnya, hingga saat ini kita tidak dapat akses terhadap data itu,” kata Ahmad.

Ahmad maklum jika sampai sekarang ada kekhawatiran soal paten di kalangan akademisi sehingga enggan membuka informasi terlalu detail. Ini juga terjadi dalam kasus pengembangan vaksin COVID-19.

Menurutnya produsen sangat menjaga kerahasiaan produk agar tidak dicuri oleh pihak lain. Namun mereka tetap rutin mengeluarkan publikasi soal vaksin yang tengah mereka kembangkan.

Dia berharap hal serupa dari pengembang alat ini. Toh yang masyarakat butuhkan bukanlah spesifikasi detail alat tersebut, melainkan data demografi untuk melatih mesin–dan untuk uji klinis pada tahun berikutnya.

Hal itu penting agar masyarakat juga bisa belajar dan menilai sendiri alat yang digunakan, tidak cuma dicekoki oleh klaim ala tukang obat. “Kalau hanya klaim, apa bedanya dengan batu Ponari? Jangan seperti itulah,” kata Ahmad. {tirto}