News  

Katanya Vonis IBE HAER ES Ada Hubungannya Dengan 2801

Hari ini populer di kalangan pendukung Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IBE HAER ES) dikenal dengan 246 alias 24 Juni. Sidang vonis di PN Jakarta Timur terhadap IBE HAER ES dalam kasus RS Ummi Bogor. Sidang ini dikawal 2.801 personil gabungan TNI dan Polri.

Ada yang bercanda. Jumlah personil 2801 diterjemahkan sebagai vonis terhadap IBE HAER ES. Dua tahun penjara kasus RS Ummi. Delapan bulan penjara dalam kasus Petamburan. Jumlah jamleh penjara terhadap IBE HAER ES dua tahun delapan bulan. Palunya diketuk tahun 2021. Betulkah?

IBE HAER ES dijerat tiga kasus sekaligus dengan pasal berlapis. Mulai dari kerumunan Petamburan, Megamendung hingga kasus RS Ummi Bogor.

Dalam kasus Petamburan, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur menjatuhkan vonis delapan bulan penjara terhadap IBE HAER ES.

Sementara dalam kasus Megamendung, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) itu hanya dikenai denda Rp 20 juta atau subsider lima bulan penjara apabila tak membayar denda tersebut.

Nuansa diskriminasi dan kriminalisasi terhadap IBE HAER ES sangat telanjang dan kasat mata. Sebaliknyanya, kerumunan Jokowi, Raffi Ahmad, Atta Halilintar hingga kerumunan Pilkada. Adakah yang diproses hukum? Tidak ada.

Apalagi saat staf khusus Jokowi, Diaz Hendropriyono pernah memposting melalui akun Instagram (12/12/20):

“Alhamdulillah masih bisa tersenyum. Sehat2x selalu bapak. Semoga baik2x saja. Sampai bertemu 2026!!!!,”

Postingan Diaz Hendropriyono sejalan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap IBE HAER ES, enam tahun penjara. Kebetulan atau skenario, tentu publik dapat menerjemahkannya sendiri. Publik pun mengenal siapa Hendropriyono. Bagaimana sepak terjangnya selama ini.

Selain itu, Jaksa Penuntut Umum sengaja memprovokasi ummat Islam dengan menuding gelar Imam Besar terhadap Habib Rizieq Shihab hanya isapan jempol belaka.

Tudingan gelar IBE HAER ES hanya isapan jempol belaka, diduga hanya pengalihan perhatian publik dari pokok perkara tuntutan jaksa yang dinilai sangat sumir dan mengada-ada. Diskusi publik beralih dari pokok perkara ke gelar IBE HAER ES. Tidak substantif.

Selain itu, ‘digelembungkannya’ gelar IBE HAER ES hanya isapan jempol belaka, diperkirakan untuk mengalihkan fokus ummat Islam terhadap pembantaian dan pembunuhan enam laskar FPI.

Kebetulannya lagi, momennya tepat, kasus pembantaian dan pembunuhan enam laskar FPI telah ditutup oleh Polisi dengan alasan tersangka telah meninggal dunia. Dari awal publik sudah curiga.

Ini yang lebih penting. Menghilangkan jejak jenderal hitam yang diduga terlibat dalam pembantaian dan pembunuhan enam laskar FPI. Tragedi KM 50 pun tak terungkap. Publik pun sudah membacanya. Sayangnya, kita terbawa arus permainan isu mereka.

Selain itu, kasus IBE HAER ES tidak terlepas dari dugaan adanya kasus ‘pesanan’ sebagai balas dendam politik oleh kelompok tertentu. Aksi bela Islam berjilid-jilid, tidak saja menggagalkan jago pihak tertentu dalam Pilkada DKI tahun 2017. Tapi juga, berhasil memenjarakan penista agama ketika itu.

Dikasuskannya IBE HAER ES, juga untuk mengunci mati sepak terjang IBE HAER ES dalam bidang politik. Musuh-musuh Pancasila dan NKRI sangat takut dengan besarnya dukungan rakyat Indonesia terhadap IBE HAER ES. Bisa-bisa agenda politik mereka gagal total.

Kasus ulama yang dipenjara dan dikriminalisasi tidak hanya terjadi pada IBE HAER ES saja. Kita teringat dengan Buya Hamka rahimahullah.

Sebelumnya ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih kita kenal dengan Buya Hamka pernah dipenjara oleh Soekarno.

Buya Hamka dipenjara tahun 1964 selama dua tahun empat bulan. Beda-beda tipis dengan hukuman terhadap IBE HAER ES.

Pemerintah menuduh Buya Hamka telah melanggar Undang-undang Anti-Subversif Pempres No. 11. Buya Hamka dituduh terlibat merencanakan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno.

Jakarta, 13 Dzulqa’dah 1442/24 Juni 2021
Tarmidzi Yusuf, Pegiat Dakwah dan Sosial