Gubernur Lemhanas Segera Jadi Dubes Filipina, Hidayat Nur Wahid: Tinggalkan Legacy Tak Konstruktif

Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen (Purn) Agus Widjojo dalam waktu dekat ini bakal menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Filipina.

Terkait hal itu, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) berharap pernyataannya soal TNI milik presiden bukan milik rakyat hanya meninggalkan legasi tak konstruktif untuk relasi Presiden, TNI dan Rakyat.

Hal itu diungkapkannya melalui akun Twitter @hnurwahid, Selasa, 12 Oktober 2021. Disebutkan, Agus Widjojo sudah di “fit and proper test” sebagai calon Dubes RI unt Filipina.

“Semoga bukan karena beliau akan tinggalkan pos Gubernur Lemhanas, maka beliau meninggalkan legacy yang tak konstruktif untuk relasi Presiden, TNI dan Rakyat. Karena Sumpah Prajurit dan Kewajiban TNI tetap/tidak berubah,” ujarnya.

Hal itu dibenarkan Anggota DPR RI Fadli Zon. Ia menyatakan, Agus Widjojo tinggal menunggu pelantikan.

“Betul tinggal dilantik. Perlu segera Gub @LemhannasRI yang berpikiran konstruktif dan bisa menjadi think tank yg tak menyesatkan,” katanya melalui akun Twitter @fadlizon.

Sebelumnya Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen (Purn) Agus Widjojo yang mengatakan TNI milik Presiden bukan milik rakyat.

Hal tersebut terungkap pada sebuah video percakapan Agus Widjojo dengan Najwa Shihab viral di media sosial.

Hal itu bermula saat Najwa Shihab bertanya kepada Agus Widjojo, “konsep tentara menyatu dengan rakyat itu apakah keliru, dan TNI bukan punya rakyat?”.

Agus pun menjelaskan, jika awalnya TNI lahir dari bangsa yang berjuang. “Kita belum punya negara. Jadi yang berjuang itu adalah rakyat, menyatu itu,” ujar Agus.

Agus menjelaskan, perjuangan meraih kemerdekaan itu merupakan perjuangan politik, yang terbagi atas laskar.

“Jadi ada laskar Hizbullah, Laskar Nasionalis, gitu kan. Itu dijadikan satu, jadi TNI. Jadi TNI dari sejak awal memang harus berdamai dengan politik,” ujarnya.

Menurut Agus, waktu perang tentara memang menyatu dengan rakyat. Dia menyebut, prinsip perang gerilya memang tentara harus menyatu dengan rakyat, seperti antara ikan dan air. Hal berbeda jika terjadi masa damai, tentara tidak lagi menyatu dengan rakyat.

Agus mengatakan, jika TNI itu milik presiden atau mereka yang memenangkan pilkada.

“Tetapi setelah menjadi demokrasi, setelah merdeka, rakyat itu punyanya presiden. Rakyat itu punyanya yang dipilih oleh rakyat, memenangkan pilpres, pemilu,” ujar Agus.

Najwa pun mengajukan pernyataan lagi jika narasi TNI bersatu dengan rakyat apakah sudah tepat? Agus menjawab tidak.

“Tidak, rakyat itu punyanya presiden. Dan kalau dilihat aslinya doktrin-doktrin kemanunggalan TNI rakyat itu untuk prajurit, bukan untuk Mabes, bukan untuk institusi,” katanya.

Agus melanjutkan, keputusan Junior membela rakyat sipil yang berkasus tanah juga merupakan tindakan keliru.

“Jadi tentara itu tidak punya kewenangan untuk menjangkau kepada sumber daya manusia sipil di masa damai. Seperti tadi Brigjen Junior, itu sudah salah pengertian, pimpinan yang belum bisa tuntas untuk memberikan pengertian yang benar kepada dia,” katanya.

Agus malah mengkritik mengapa Bintara Pembina Desa (Babinsa) malah mengurusi masalah sipil, seperti membantu rakyat kecil yang terlibat kasus sengketa lahan dengan korporasi.

“Sebenarnya Babinsa tidak ada kewenangan untuk ngotak-ngatik, ngurus urusan sipil,” katanya. {galamedia}