News  

Ekonom: Pejabat Bisnis PCR Jauh Lebih Parah Dari Nepotisme Soeharto

Ekonom Yanuar Rizky menilai keterlibatan pejabat negara dalam bisnis PCR, pemeriksaan covid-19 di era pandemi, lebih parah dari nepotisme yang dilakukan oleh mantan presiden zaman Orde Baru, Soeharto.

“Waktu dulu saja, zaman pak Harto yang segitu-gitunya (nepotisme) Orde Baru, sempat saya periksa kasus, nggak ada tuh tier kosong,” ungkap Yanuar dalam webinar yang diadakan oleh PRIMA, Selasa (16/11).

Tier kosong yang dimaksud adalah keterlibatan langsung pejabat negara dalam suatu perusahaan yang ada di lingkungannya.

“Tier kosong tuh artinya, misal saya ketemu namanya Tutut di satu perusahaan yang saya periksa. Tapi, itu nggak ada juga,” terang dia.

Sebelumnya, santer dugaan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir terlibat bisnis PCR seperti diungkap oleh Direktur YLBHI Agustinus Edy Kristianto.

Keterlibatan Luhut diketahui lewat PT Toba Bumi Energi dan PT Toba Sejahtera, anak PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA).

Sementara dugaan keterlibatan Erick terkait dengan Yayasan Adaro Bangun Negeri yang berkaitan dengan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Perusahaan itu dipimpin oleh saudara Erick, yaitu Boy Thohir.

Relasi antara Boy Thohir dan Erick Thohir inilah yang disebut Yanuar sebagai tier satu. Terlebih, Luhut juga mengonfirmasi kepemilikan sahamnya dalam TOBA.

“(Luhut) tier kosong kan dikonfirmasi sendiri oleh pak LBP kan, dia mengakui punya saham di TOBA, berarti dia tier kosong. Boy Thohir (jadi) tier satu karena dia afiliasinya Erick Thohir, sesuatu yang tidak perlu kita lakukan pemeriksaan dulu ke sistem pembayaran, itu kan sudah keliatan,” ujar Yanuar.

Hal ini lah yang membuatnya mempertanyakan komitmen pemerintah terhadap reformasi dan pemerintahan yang bersih dari nepotisme.

“Kalau kita masih commited sama reformasi, nggak ada yang namanya bisnis kaya gini nih. Ada nepotismenya,” tandas Yanuar.

Saat ini,Luhut dan Erick dilaporkan ke Polda Metro Jaya terkait dugaan pelanggaran tindak pidana kolusi dan nepotisme, yakni Pasal 5 angka 4 Jo Pasal 21 dan Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

Sebelumnya, Luhut mengaku siap diaudit dan diperiksa terkait tes PCR. “Yang paling gampang, kita nggak usah marah-marah, audit saja. Siap banget (diaudit),” ungkapnya dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV yang tayang Jumat (12/11) sore.

Ia juga menyatakan siap dipanggil Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setelah sejumlah orang melaporkan persoalan ini ke lembaga anti rasuah itu. Luhut mengklaim tidak ada yang ia takutkan sepanjang ia tidak melakukan yang dituduhkan.

“Siap saja kenapa sih nggak? Enggak ada yang saya takutin sepanjang saya itu tidak melakukan itu,” tutur Luhut.

Luhut mengatakan sejak perusahaan itu berdiri dua tahun lalu ia tidak mengambil untung sepeser pun. Menurutnya, uang yang ia miliki dari bisnisnya selama ini sudah cukup untuk hidup.

Adapun keterlibatannya dalam pendirian PT GSI, kata dia, karena persoalan kemanusiaan. Ia mengaku bersama sejumlah pengusaha besar lainnya mendirikan perusahaan tersebut guna membantu pengadaan tes PCR sehingga bisa lebih murah dan dilakukan dalam jumlah banyak.

“Dari awal tidak ada ke kantong saya satu peser, buat saya itu untuk apa sih?” kata Luhut. {cnn}