News  

Kekerasan di SPN Dirgantara Batam, KPAI: Tangan Diborgol, Leher Dirantai Seperti Binatang

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan KPPAD Kota Batam mendapati aduan terkait tindakan kekerasan terhadap anak didik di sekolah penerbangan di Kota Batam,

Dalam kasus ini, KPAI menyebutkan berdasarkan pengaduan 10 orang tua korban, bahwa anak didik yang melakukan pelanggaran disiplin dimasukkan ke dalam sel tahanan, ditampar, ditendang dan sebagainya.

“Seorang siswa bisa dikurung berminggu-minggu bahkan berbulan tergantung kesalahannya dan dianggap sebagai konseling. Selain dikurung anak-anak juga akan mengalami hukuman fisik seperti pemukulan, bahkan ada korban yang rahangnya sampai bergeser,” ungkap Komisioner KPI, Retno Listyarti, dalam keterangan tertulis yang diterima kepripedia, Kamis (18/11).

Terkait aduan ini, KPAI dan KPPAD Batam menyebutkan menerima sejumlah bukti sebuah video dan 15 foto yang diduga peserta didik dari SPN Dirgantara Batam ini.

Dari bukti yang diterima tersebut, lanjutnya, ada yang tidak diikat dan ada 2 anak didik yang dirantai di leher dan di tangan.

10 foto lainnya ada 4 anak di dalam sebuah ruangan sempit beralaskan karpet biru dan 1 tempat tidur dengan kasur yang tidak diberi alas. Mereka tampak bertelanjang dada karena panas di dalam ruangan yang sempit.

Menurut Retno, dari video yang diterima pihaknya, anak didik terlihat tertekan dan tak banyak berbicara. Saat ditanya hanya menjawab singkat.

“Rekaman video yang kami dapatkan, merekam kejadian ketika anak-anak tersebut dibebaskan oleh pihak Dinas Pendidikan Provinsi Kepulauan Riau.

Terdengar suara yang diduga pejabat Dinas pendidikan yang disebut sebagai pak Kabid (Kepala Bidang), yang tampak marah karena penahanan tersebut dianggap tidak manusiawi dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia,” ujarnya.

Tidak hanya itu, ia menyebutkan ada 4 foto lain yang diterima belakangan terbilang cukup sadis. Peristiwa tersebut, menurut informasi terjadi pada tahun 2020.

2 foto terlihat anak yang tangannya terborgol sebelah sehingga keduanya harus saling berdekatan karena saling diikat dalam satu borgol di sisi tangan yang berbeda (satu di kiri dan satu di kanan).

“Lebih mengenaskan lagi, salah satu anak juga dirantai lehernya seperti binatang”, ungkap Retno.

Pada 2 foto lagi, terlihat 3 anak laki-laki sedang berdiri di balik jeruji sel tahanan yang diduga adalah sel tahanan yang berada di SPN Dirgantara, ketiganya bahkan menggunakan seragam seperti tahanan, berwarna oranye.

Oleh karena itu, ia menyebutkan bahwa KPAI mengecam keras tindakan kekerasan dalam satuan pendidikan. Menurutnya sekolah harus menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik.

“Lembaga pendidikan seharusnya menyemai nilai-nilai demokrasi dan penghargaan atas hak asasi manusia. Segala bentuk kekerasan atas nama mendisiplinkan seharusnya tidak boleh dilakukan”, pungkas Retno.

KPAI dan Itjen KemendikbudRistek Datangi SPN Dirgantara Batam
Dari pengaduan ke-10 orang tua siswa tersebut, KPAI kemudian melakukan koordinasi dengan Inspektorat Jenderal KemendikbudRistek untuk melakukan pengawasan dan penanganan kasus kekerasan di SPN Dirgantara Jl. Ahmad Yani Batam ini pada 16-19 November 2021 ini.

Di hari pertama, tim gabungan langsung melakukan pertemuan dengan sejumlah orang tua dan peserta didik yang mengalami kekerasan fisik dan di penjara dalam sel tahanan sekolah di lantai empat.

Hari kedua, tim langsung melakukan pengawasan ke SPN Dirgantara yang merupakan sebuah Rumah Toko (Ruko).

Pada tahun 2018, saat KPAI mendatangi SPN Dirgantara, sel tahanan berada di lantai dasar dan saat kedatangan KPAI dan Kompolnas kali ini, sel tersebut sudah dibongkar. Namun, sel serupa kemudian dibangun kembali di lantai 4 gedung sekolah.

Dari hasil pengawasan itu, membuktikan bahwa sel tahanan di lantai 4 tersebut benar adanya.

“Sel tersebut luasnya hanya sekitar 3×2 meter persegi. Kondisi ruangan pengap, lubang udara hanya sekitar 15 cm, diteralis besi. Sel pernah diisi 10 anak sekaligus, sehingga saat tidur seluruh anak harus berdesak-desakan dengan sirkulasi udara yang sangat buruk bagi kesehatan anak-anak,” lanjut Retno menjelaskan.

Didalam sel tahanan terdapat kamar mandi tanpa pintu. Artinya, saat 2 anak yang diikat dalam satu borgol seperti di foto bukti, harus bersama-sama saat buang air.

Lebih jauh dijelaskan, sel tahanan di teralis dari pintu (ditutup triplek) maupun atap. Kondisi ini dinilai berbahaya jika terjadi kebakaran, anak-anak yang sedang dalam sel tentu terancam nyawanya.

Saat masuk ke kelas-kelas, tim menemukan ada 2 ruang kelas tanpa kursi dan meja untuk belajar. Pihak sekolah beralasan bahwa kursi dan meja sedang diangkut ke ruang aula (ruang belajar besar), karena malam hari sebelumnya ada seminar di ruang aula.

“Hal ini mengindikasi bahwa sarana dan prasarana pembelajaran tidak sesuai dengan standar sarana dan prasarana pendidikan,” tambah Retno.

Tak sampai disitu, ia menyebutkan jika ada tenaga pendidik yang tidak sesuai standarnya. Seperti yang ditemui tim gabungan ke salah satu kelas, ada seorang guru dengan latar pendidikan S1 jurusan Pendidikan Islam yang mengajar materi “human error dalam penerbangan pesawat”.

“Si guru mengaku mengajar bidang studi Bahasa Indonesia, namun dalam daftar susunan guru tertera mengampu pelajaran agama,” tambahnya.
Tim gabungan juga memasuki ruang-ruang asrama yang bebentuk barak disi 40 anak dengan hanya satu kamar mandi pada lantai tersebut.

“Tempat tidur sebagian besar tanpa sprei dan bantal tanpa sarungnya. Ruangan tercium bau tidak enak, terutama dilantai 4 tempat menjemur pakaian dan ada kamar mandi atau tempat cuci baju,” pungkasnya.

Terkait kasus ini, tim gabungan yang terdiri dari Itjen KemendikbudRistek, KPAI, dan Masyarakat Sipil, melakukan rencana tindak lanjut melalui rapat koordinasi bersama Pemprov Kepri, Kamis (18/11) hari ini di Kantor Gubenur Provinsi Kepulauan Riau.

Agendanya, akan membahas sejumlah rencana menindak lanjuti temuan dari sekolah tersebut. {kumparan}