News  

Ancaman Utang RI Terus Membengkak Akibat Proyek Ibukota Baru

Pembangunan ibu kota baru tampaknya akan segera mulai direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Layaknya mega proyek pada umumnya, pembangunan ibu kota tentu akan menelan biaya yang tak sedikit.

Berdasarkan perhitungan yang pernah disampaikan Jokowi saat mengumumkan rencana pemindahan ibu kota 2019 lalu, setidaknya dibutuhkan dana Rp466 triliun untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia ke wilayah yang diklaim sebagai salah satu paru-paru dunia tersebut.

Awalnya, Presiden Joko Widodo berjanji tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan ibu kota baru. Namun siapa sangka, rencana itu berubah.

Pemerintah pernah menyebut 19 persen atau setara Rp80 triliun dari dana pembangunan ibu kota baru akan menggunakan dana APBN.

Kini, jumlahnya kian membesar. Dalam laman ikn.go.id beberapa waktu lalu bahkan, terpampang jelas porsi dana APBN untuk ibu kota baru melonjak jadi 53,5 persen dari total pendanaan yang dibutuhkan.

Meski sempat dibantah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, namun yang pasti anggaran pembangunan IKN tidak akan sedikit. Dan karena itulah beberapa waktu lalu Sri Mulyani sempat mengatakan pemerintah akan melirik dana PEN untuk pembangunan ibu kota baru.

“Mengenai anggaran apalagi tadi porsi APBN dan lain-lain nanti kami akan hitung ya. Jadi sebetulnya tidak ada yang disebut hari ini preconception 54 persen adalah APBN,” ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Selasa (18/1).

Berbagai skema pembiayaan akan dibuka pemerintah untuk melancarkan pembangunan mega proyek ambisius era Presiden Jokowi itu, mulai dari skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dana swasta, pendanaan BUMN, hingga investasi.

Namun yang tak kalah santer, proyek ibu kota baru juga akan didanai dengan utang. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah berupaya untuk tidak mengambil utang jangka panjang.

Ia yakin pembangunan ibu kota baru tidak akan membebani APBN, namun justru akan menambah aset pemerintah.

“Kami juga menghindari utang jangka panjang. Kami akan adaptasi model pembiayaan sedemikian rupa yang tidak memberatkan APBN, tapi justru menambah aset pemerintah sedemikian rupa,” kata Suharso dalam konferensi pers di Kompleks DPR RI yang disiarkan secara daring, Selasa (18/1).

Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dengan lantang menyebut tidak ada urgensinya memindahkan ibu kota di tengah tingginya utang luar negeri Indonesia.

“Tidak ada urgensi sama sekali apalagi pemerintah memiliki utang tinggi, adalah keputusan/kebijakan yang tidak bijak,” kata Din kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).

Menurut Bank Indonesia (BI) utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$416,4 miliar atau setara Rp5.962 triliun (kurs Rp14.319 per dolar). Utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar US$202,2 miliar dan utang swasta sebesar US$205,2 miliar.

Dengan begitu, rasio utang dibandingkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 35,5 persen. BI mengklaim itu masih sehat karena didominasi utang jangka panjang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan potensi peningkatan utang bisa saja terjadi dari pembangunan ibu kota baru.

Setidaknya terdapat beberapa hal yang membuka potensi itu. Pertama, ruang fiskal pemerintah yang sangat sempit karena defisit anggaran hanya diperbolehkan di bawah 3 persen.

Belum lagi anggaran negara harus dibagi ke beberapa pos kebutuhan masyarakat di tengah penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi seperti pemberian insentif bagi pelaku usaha hingga menghadirkan jaminan sosial kepada masyarakat yang terdampak.

Kedua, skema KPBU yang ditargetkan pemerintah bisa memenuhi 40 hingga 50 persen kebutuhan pendanaan ibu kota baru. Itu ia nilai tidak relevan dan sulit tercapai.

Pasalnya, beberapa negara biasanya menggunakan skema tersebut dengan porsi yang tidak lebih dari seperempat dari total dana yang dibutuhkan.

“Yang jadi masalah adalah rata-rata internasional, KPBU itu maksimal 22 persen. Untuk kasus Indonesia maksimal 7 persen dari proyek infrastruktur, kok ini mau menargetkan 46 persen dari KPBU,” kata Bhima, Rabu (26/1).

Selain itu, ia tidak yakin apabila sektor swasta tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru. Pasalnya, proyek ibu kota baru akan didominasi oleh pembangunan gedung-gedung pemerintahan yang tidak memiliki nilai komersial tinggi bagi investor.

Terkait sumber pendanaan utang, Bhima menilai pemerintah akan kesulitan mencari sumber utang baik dari lembaga multilateral maupun kerja sama bilateral.

“Akan susah ya, karena banyak lembaga keuangan itu selektif seperti Bank Dunia mereka akan mempertanyakan soal pengurangan kemiskinan, ini susah dijawab untuk pembangunan ibu kota negara. Kalau secara bilateral, apabila pinjaman yang diberikan tidak komersial dan risiko politiknya tinggi maka bunga pinjamannya bisa lebih mahal,” ucapnya.

Lebih lanjut, ia khawatir bila pembangunan ibu kota baru menggunakan dana utang, stabilitas perekonomian nasional bisa terganggu. Tak hanya itu, ia juga khawatir bila kebijakan itu ditempuh, Indonesia bisa masuk ke dalam debt trap atau jebakan utang.

Debt trap sendiri merupakan istilah di mana sebuah negara terjebak dengan utang yang membesar, namun tidak memiliki kemampuan bayar.

“Iya dong pasti akan mengganggu. Bisa-bisa masuk debt trap. Kalau sudah terjebak akan ada negosiasi dengan kreditur. Kalau mereka tidak mau, kreditur bisa dapat penjualan aset negara. Risiko itu sudah terjadi di banyak negara,” katanya.

Risiko terjebak dengan utang dinilai mungkin saja terjadi kepada Indonesia. Lantaran, beberapa negara yang kini masuk ke dalam debt trap adalah negara yang banyak mendapat utang dari China seperti Sri Lanka hingga Nigeria.

“Bisa jadi (berutang ke China) ya, karena stand by buyer atau pembeli yang siap membeli utang pemerintah kita tentu adalah China. Karena mereka punya kepentingan geopolitik di Laut China Selatan,” tambahnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Muhammad Faisal merupakan salah satu pengamat yang setuju dengan pemindahan ibu kota baru. Namun, ia tidak sepaham apabila pembangunan IKN dilakukan dengan tergesa-gesa dan membebani anggaran negara.

“Walaupun saya setuju dengan IKN, tapi tidak bisa dilakukan secara terburu-buru termasuk masalah pembiayaannya. Ini desain sebelum pandemi, setelah pandemi fiskalnya jadi lebih sempit. Jadi ini seharusnya lebih rasional sesuai dengan anggaran kita,” ujarnya.

Ia pun menggarisbawahi apabila memaksakan pembangunan ibu kota baru dalam waktu dekat, tentu risiko pembengkakan utang baik dari dalam negeri maupun luar negeri akan semakin meningkat signifikan.

Terkait sumber utang, Faisal mengatakan opsi paling aman yang bisa dipakai pemerintah adalah penjualan surat berharga negara ke pasar domestik, sebab itu lebih stabil apabila terjadi gejolak perekonomian global.

“Kalau masalah utang tetap saja yang paling rendah risiko adalah dari dalam negeri yang tidak berdenominasi valuta asing, karena kalau begitu akan berdampak ke kerentanan fiskal yang ikut gejolak global dan itu di luar kontrol kita,” ucapnya.

Sepaham dengan Bhima, baginya utang yang semakin membengkak akibat pembangunan IKN dapat meningkatkan kerentanan ekonomi nasional.

Terlebih, beberapa lembaga multinasional pernah memperingatkan Indonesia terkait utang luar negeri akibat pembangunan infrastruktur yang masif dalam beberapa tahun terakhir.

Di lain sisi, utang yang membengkak seharusnya dapat sejalan dengan dampak positif yang diberikan terhadap perekonomian. Namun, Faisal melihat dalam jangka pendek pembangunan ibu kota baru hanya akan memberikan dampak kepada Kalimantan Timur dan daerah sekitarnya.

“Dalam jangka pendek manfaat ekonominya hanya untuk Kalimantan Timur saja, padahal kita berharap paling tidak wilayah luar Jawa bisa berdampak ke ekonominya. Tapi karena keterbatasan dana dan prosesnya memakan waktu yang lama, jadi efeknya ke daerah lain masih relatif terbatas,” ujarnya.

Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy memperkirakan pemerintah melakukan pinjaman kepada lembaga multilateral dan negara-negara yang sudah menjadi langganan utang Indonesia antara lain Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Jepang hingga China.

Namun menariknya, Yusuf tidak mencatut nama Uni Emirat Arab (UEA) yang saat ini tengah mesra menjadi partner bisnis dan ekonomi Indonesia.

Terlebih, Presiden Joko Widodo telah menjalin hubungan bilateral khusus dengan Putera Mahkota UEA Pangeran Mohammed bin Zayed (MBZ) beberapa waktu lalu.

“Kalau UEA saya melihat peluangnya masuk ke skema Lembaga Pengelola Investasi (LPI), saya melihat kecenderungan investor Timur Tengah akan masuk lewat sana, makanya saya tidak me-mention negara Timur Tengah karena ekspektasinya akan masuk lewat LPI (bukan memberikan pinjaman),” katanya.

Terlepas dari pembiayaan pembangunan IKN bersumber dari utang mana, Yusuf hanya memperingatkan pemerintah terkait commitment fee yang harus dibayarkan apabila realisasi pembangunan IKN tidak sesuai target.

Dengan begitu, pemerintah seharusnya sudah membuat persiapan yang sangat matang untuk membangun peradaban pemerintah baru Tanah Air. {cnn}