News  

Kenapa Sultan Hamengkubuwono IX Disebut Penggagas Serangan Umum 1 Maret, Bukan Soeharto?

Suatu hari di awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX mendengar dalam siaran radio BBC bahwa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) akan mengadakan sidang umum yang dipimpin oleh Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru.

HB IX melihat ini sebagai peluang untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia dalam mengusir Belanda, dimana jalur-jalur diplomasi sebelumnya macet semua.

Posisi HB IX saat itu memang cukup menguntungkan. Dia tidak dibawa oleh Belanda untuk diasingkan ke Bangka seperti Soekarno dan Hatta.

Padahal, selain menjabat sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), HB IX saat itu juga menjabat Menteri Pertahanan. Karena itu, Sultan masih punya akses untuk mendengarkan radio-radio internasional.

Sultan HB IX memutar otak, apa yang bisa dibawa ke sidang PBB agar dunia internasional mengakui eksistensi Indonesia dan mendorong Belanda untuk angkat kaki. Akhirnya terpikirlah ide untuk melakukan serangan besar pada siang hari.

Sebelumnya, sejumlah serangan ke pos-pos pertahanan Belanda memang sudah dilakukan, namun selalu pada malam hari sehingga tidak terlihat oleh dunia internasional dan tidak memberikan dampak berarti.

“Akhirnya pada 7 Februari 1949, Sultan HB IX minta izin kepada Jenderal Soedirman yang waktu itu sedang bergerilya ke timur untuk melakukan serangan umum,” kata sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Julianto Ibrahim, saat diwawancarai melalui video konferensi, Jumat (4/3).

Surat permohonan izin dari HB IX dibawa oleh seorang kurir menuju Soedirman. Ide untuk melakukan serangan umum itu disambut baik oleh Soedirman, dia kemudian menyetujui dan mendukung gagasan tersebut.

“Bahkan Jenderal Soedirman memerintahkan HB IX untuk berkoordinasi dengan komandan setempat,” lanjutnya.

Saat HB IX Undang Soeharto

Mendapat lampu hijau dari Soedirman, Sultan HB IX langsung bergegas menghubungi orang-orang yang penting yang dibutuhkan untuk melancarkan serangan itu.

Salah satu orang yang diundang adalah Letkol Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai komandan Wehrkreise (wilayah pertahanan) III, dimana Yogyakarta adalah salah satu wilayah kekuasaannya.

Soeharto diundang ke rumah Prabuningrat, adik HB IX. Dikawal oleh Lettu Marsudi, Soeharto datang melalui Pojok Beteng sebelah barat. Sebelum masuk ke dalam rumah, Soeharto lebih dulu berganti baju menggunakan pakaian adat Jawa.

“Pertemuan itu di tanggal 13 Februari malam, jam 11 sampai jam 12,” kata Julianto.

Waktu tengah malam dipilih untuk menghindari perhatian Belanda, karena pertemuan tersebut sangatlah rahasia.

Bahkan, lampu-lampu di rumah tersebut tidak dinyalakan supaya tidak memancing perhatian Belanda. Di tengah kegelapan itu, HB IX dan Soeharto membicarakan rencana serangan umum tersebut.

Awalnya serangan tidak direncanakan pada 1 Maret, tapi pada 28 Februari. Dalam pertemuan itu, HB IX meminta kepada Soeharto untuk menyiapkan beberapa hal, salah satunya adalah menyiapkan pasukan dari 7 sub wehrkreise yang berada di bawahnya.

Sub-sub wehrkreise inilah yang nantinya akan berada di garis depan dalam serangan umum 1 Maret di tengah kota Yogya.

Soeharto juga pernah terlibat dalam mengonsep serangan itu ketika pasukannya saat itu berada di Segoroyoso. “Memang sempat ikut mengonsep, tapi bukan menggagas, karena idenya dari Sultan HB IX,” ujarnya.

Karena itulah nama Soeharto tidak ditulis dalam Keppres Nomor 2 tahun 2022. Sebab, banyak sekali tokoh yang terlibat dan berperan penting dalam serangan tersebut, seperti para komandan sub wehrkreise yang jadi kunci suksesnya serangan pada hari tersebut.

Nama-nama Lain dalam Serangan Umum 1 Maret

Wali Kota Yogyakarta Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo bersama dengan Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Foto: Yayasan Perguruan Tinggi Janabadra.

Selain menghubungi Letkol Soeharto, Sultan HB IX juga menghubungi Kolonel Bambang Sugeng, yang tidak lain adalah Komandan Divisi III, atasan Soeharto. Bahkan Bambang Sugeng ikut mengonsep serangan umum di tengah sawah di daerah Kulon Progo, dekat markas TB Simatupang karena takut jika dilakukan di markasnya akan terbongkar oleh Belanda.

Ada juga Wali Kota Yogyakarta, Sudarisman Purwokusumo, yang juga dihubungi oleh HB IX dan ikut mengonsep serangan.

Tugasnya tak kalah penting, seperti menentukan rumah-rumah yang bisa dijadikan tempat tinggal sementara para pejuang selama menyiapkan serangan, menentukan di mana saja dapur umum untuk memenuhi logistik pasukan, serta memetakan dari mana para pejuang bisa masuk saat menyerang Kota Yogyakarta.

Tokoh-tokoh lain di luar Yogyakarta juga ikut berusaha menahan supaya pasukan Belanda ataupun bala bantuannya memasuki wilayah Yogyakarta saat serangan berlangsung. Misalnya Gatot Soebroto, yang berusaha menghalau pasukan Belanda yang datang dari arah Solo.

“itu mengapa Soeharto tidak ditulis namanya di Keppres, karena banyak sekali tokoh lain yang berperan, bahkan lebih sentral ketimbang Soeharto,” ujar Julianto Ibrahim.

Kendati demikian, nama Soeharto tetap ditulis dalam naskah akademik Keppres tersebut. Sedangkan yang ditulis dalam Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara adalah tokoh-tokoh utama yang benar-benar punya peran sentral di dalam serangan itu, yakni Sultan HB IX sebagai penggagas;

Jenderal Soedirman sebagai pihak yang memerintahkan dan bertanggung jawab penuh atas serangan itu; serta Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden yang mengizinkan serangan tersebut.

Peran Soeharto tetap tampak, dan tidak dihilangkan. Namun perannya ditulis sesuai dengan porsinya, tidak seperti historiografi masa Orde Baru dimana keseluruhan peran dalam peristiwa itu dilakukan oleh Soeharto.

“Jadi Keppres ini tidak menghilangkan atau menambahkan peran, sebaliknya, justru menempatkan sesuai porsinya,” ujarnya. {kumparan}