News  

Ada Apa Dengan Nasi Padang Babi?

Link berita masuk ke grup WA Arisan keluarga . Judul beritanya: “Pemilik Usaha Nasi Padang Babi dibawa ke Polsek Kelapa Gading”. Berita tentang pemilik usaha rumah makan padang berurusan dengan pihak berwajib akibat menjual masakan padang dengan bahan dasar Babi. Diperparah jualan utamanya adalah rendang babi. Alibi sang pelaku adalah kreatifitas dan diversifikasi produk.

Hasil penelusuran berita, si pemilik berdalih bahwa ia fans berat nasi padang. Dengan begitu, ia mencoba kreatif mengolah masakan padang dengan kandungan babi dan mengkomersilkannya. Membaca berita ini, lalu besan saya yang urang sunda menyahut: “belum ada komen urang awak ini”.

Tadinya saya mau balas komentar-komentar pedas di bagian bawah berita. Isi komentar banyak menyerempet ke-islam-an, kinerja tokoh politik dan menyindir etnis minang tentunya. Komentar tidak cerdas, ledekan dan penuh dengan kandungan menyerang tokoh atau malah memuji persona politik tanpa konteks, ditebar dalam kolom komentar berita tersebut. Apa saja bisa jadi bahan bakar perselisihan media digital pada tahun-tahun politik ini.

Hasil penelusuran beritanya, RM Padang babi ini tidak laku di tahun 2020. Terbukti tiga bulan buka usaha nasi padang langsung tutup di tahun yang sama. Lalu dilanjutkan berjualan secara online, melalui instagram. Pengikutnya pun tidak banyak di Instagram, hanya 300an saja. Tapi akhirnya banyak yang gerah atas kreatifitas “babi” ini.

Label Babiambo dipermasalahkan dalam tulisan seorang tokoh Minang (Gamawan Fauzi, harian Singgalang). Hei ini bukan Bahasa Spanyol, artinya ‘babi saya’ dalam Bahasa Minang.

Beliau secara keras melabeli pelaku sebagai “Ongok Rayo”, Satu ledekan tertinggi dari bodoh dalam Bahasa minang. Pak Gamawan Fauzi cukup menggambarkan gemasnya urang awak dalam menyikapi komodifikasi Babi ini. Menjadi komodifikasi politik dan ekonomi, padahal ranahnya rendang berada di arena budaya.

Mengutip beliau, pada prinsipnya budaya Minangkabau identik dengan ABS-SBK (adat bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah), syara’ berdalil adat menjalankan. Kreatifitas seseorang tidak serta merta menjadi alasan lepas dari tanggung jawab pelaku akan kepatutan dan kepantasan.

Menyelamatkan Kesantunan Melalui Media Sosial
Pada sebagian kebudayaan, makanan dan minuman adalah identitas magis. Kuliner bagi masyarakat Minang adalah pemanggil kerinduan akan kampung halaman, sanak saudara dan orang tua. Makanan adalah penghargaan tertinggi pada tamu oleh tuan rumahnya.

Pada pengalaman perjalanan penulis baik dalam negeri hingga ke luar negeri, Resto Padang dimanapun di bumi tidak memerlukan sertifikasi halal dari Lembaga pemerintahan manapun. Lelucon klasiknya: kalaulah RM Padang dibuka di Bulan tidak akan ragu akan halalnya.

Sifat alamiah internet saat ini adalah media polarisasi, dia bukan media kohesi. Seorang pengguna internet hanya akan tertarik dengan pemikiran mereka sendiri, pendapat mereka sendiri dan halu akan kecerdasan mereka sendiri. Melalui algoritma tampilan di beranda yang mereka pilih tanpa disadari. Dinda Lisna Amilia (2022) menulis lebih jelas tentang teori ini. Judul tulisannya: “Hidup dikendalikan Algoritma”.

Tom Nichols (2017) menulis tentang the Death of Expertise, tewasnya kepakaran, internet mengubah semua penggunanya mendadak menjadi pakar. Jadi komentar-komentar bernada menyerang, menyanjung dan mendebat kesalahan pelaku.

Mempertanyakan kesalahan si pelaku nasi padang babi? tidak ada pasal yang akan menjeratnya. Tapi dia tidak benar, karena mengabaikan kepantasan, kepatutan, nilai moral dan etika kesantunan pergaulan dunia nyata dan maya sekaligus.

Saving Private “Rendang”
Dari sisi kebudayaan, tentara tempur dari kebudayaan Minangkabau sudah banyak yang tewas dalam perjalanan waktu. Terbukti dalam Indeks Pemajuan Kebudayaan (IPK nasional) Sumatera Barat berada di bawah rata-rata nasional. Tidak pernah masuk dalam 10 besar sejak 2018. IPK Nasional Sumatera Barat di tahun 2018 peringkat 15 & tahun 2019 turun ke peringkat 16.

Sebut saja, dari sisi demografis kependudukan: banyak rumah kosong karena ditinggal merantau. Kampung sunyi perhelatan sehingga perputaran uang terbesar hanya berlangsung saat hari raya, kematian / kelahiran dan pernikahan/kenduri syukuran.

Rendang adalah salah satu kebanggaan budaya Minang saat ini. Surau telah lama ditinggalkan oleh kaumnya. Datuk dan ninik mamak banyak berkiprah di kota-kota. Kerapatan nagari tidak lagi menyelesaikan perselisihan antar sesama.

Mengambil cerita dari Saving Private Ryan (diplesetkan jadi Rendang). Tamtama Ryan adalah satu-satunya pewaris nama keluarga yang masih selamat dari ganasnya perang. Merujuk dari Indeks Pemajuan Kebudayaan Minangkabau yang tidak membanggakan tersebut, kami penulis perlu membela habis-habisan rendang, agar terhindar dari komodifikasi kebudayaan atas nama kreatifitas ekonomi dan gorengan politik.

Perubahan itu keniscayaan, berubah atau punah (Prof Kasali). Banyak yang tidak berubah namun tetap tidak punah dalam kajian kebudayaan. Walaupun mudah didebat dimana-mana. Namun Penulis ingin sekali mengingatkan, bila ingin menjaga nilai kesantunan digital.

Sebaiknya berhati-hatilah dalam memilih kreatifitas. Boleh saja Pizza diberi toping ceker ayam, atau sandwich isi gulai Nangka (misalnya) terserah anda. Namun jangan meledek (trolling). Trolling dalam kajian Microsoft (Digital Civility Index: 2021 edisi 5) termasuk dalam kebiadaban digital oleh satu pengguna kepada sesamanya.

Medsos pemilik usaha RM Padang Babi salah satunya bisa dikategorikan sebagai ledekan siber berdampak keresahan masyarakat. Meresahkan masyarakat di tahun 2022 ini bisa dikategorikan makar di mata hukum, waspadalah!

Romeyn Perdana Putra, Peneliti BRIN