Keruntuhan Citra Parpol di Pemilu 2019

Keruntuhan Citra Parpol di Pemilu 2019 Radar Aktual

Hari-hari ini, suasana kompetisi kontestasi Pemilu 2019 kian kental mewarnai panggung politik nasional, baik itu dalam ranah pemilihan legislatif (pileg) maupun pemilihan presiden (pilpres). Sebagaimana diketahui Pemilu 2019 mengandung keunikan tersendiri, mengingat inilah pemilu yang menyatukan sekaligus pileg dan pilpres.

Belajar pada penyelenggaraan pemilu di beberapa periode sebelumnya, maka hal prioritas yang harus diwujudkan adalah menjauhkan praktek politik uang (money politics) dari panggung demokrasi.

Sejatinya, politik uang merupakan perkawinan negatif dari tingkah laku politikus busuk yang hanya mengandalkan mesin uang untuk membeli kemenangan, dengan memobilisasi dan memanipulasi kemiskinan riil di tengah masyarakat. Ironisnya, kemiskinan riil itu membuat masyarakat pemilih semakin pragmatis dan instan.

Dalam formulasi yang lain, money politics merupakan ‘perkawinan terlarang’ antara kemiskinan moralitas kaum politikus di satu sisi, dengan kemiskinan riil yang menjerat masyarakat di sisi lainnya. Seiring dengan realitas masyarakat kita yang semakin cerdas, maka sangat diharapkan agar para pemilih tidak lagi menjual martabat dan harga dirinya dengan menerima lembaran-lembaran uang dari para politikus busuk.

Publik sungguh berharap agar Pemilu 2019 yang berlangsung pada era kepemimpinan Presiden Jokowi ini, mampu melahirkan para pemimpin politik yang berkualitas, kredibel, dan berintegritas.

Seiring dengan harapan ini, maka partai politik (parpol) sebagai peserta pemilu, mau melakukan otokritik dan pembenahan internal agar tetap dipercaya oleh rakyat. Apabila parpol gagal melakukan perbaikan citranya, maka sangat mungkin parpol akan mengalami fase keterpurukan akibat musnahnya kepercayaan (trust) dari publik. Sepatutnya parpol-parpol berbenah diri agar tidak jatuh terjerembab ke dalam ketidakpercayaan (distrust) publik.

Sebagai komparasi sejarah, pada masa dulu, seusai Pemilu 1955 pemilu yang diklaim paling demokratis hingga saat ini, parpol-parpol justru terjebak dalam pragmatisme kekuasaan yang akut, sehingga saling gontok-gontokan dan mengakibatkan instabilitas politik.

Menanggapi situasi instabilitas politik negara pada masa itu, maka Bung Karno memberikan warning yang keras terhadap parpol. Dengan pilihan sadar, Bung Karno mengajak rakyat untuk mengubur partai-partai. “Ayo, mari kita kubur partai-partai!” demikian seruan Bung Karno kala itu.

Akibat situasi politik yang kontraproduktif, maka Bung Karno menggagas perlunya negara memiliki satu partai tunggal sebagai wahana konsolidasi kebijakan politik negara dalam hal pembangunan nasional.

Ide besar Bung Karno itu dalam beberapa kepustakaan sejarah dikenal dengan terminologi “partai negara” (the state party/partij). Ide Bung Karno tersebut, sejatinya beririsan erat dengan gagasan Bung Karno mengenai pentingnya eksistensi suatu “golongan fungsional” yang kemudian melahirkan Golongan Karya; golongan yang semula bernama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya).

Pemilu Bersih

Mengingat peran penting pemilu sebagai momentum konsolidasi demokrasi secara menyeluruh dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) demokrasi, hendaknya bertekad melahirkan pemilu yang berkualitas dan bermartabat.

Aneka titik lemah yang menjadi ‘dosa warisan’ dari pemilu-pemilu sebelumnya, harus ditebus dengan perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu, yang sungguh-sungguh bersifat; langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur, dan adil (Luber dan Jurdil).

Kita percaya bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) beserta seluruh perangkatnya, telah berupaya sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas dari seluruh tahapan pemilu yang kompleks ini (pemilu serentak).

Begitu uniknya Pemilu 2019 -di mana setiap pemilih akan mencoblos lima surat suara sekaligus, yakni DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Pilpres- maka diprediksi akan menyita perhatian dunia internasional. Sangat mungkin banyak pengamat dan peneliti internasional yang akan terjun memantau penyelenggaraan Pemilu 2019 di Indonesia.

Kiranya kita mafhum bahwa Pemilu 2019 digelar dalam perjalanan usia Indonesia yang telah melewati usia 73 tahun, suatu perjalanan usia yang tidak muda lagi. Kualitas penyelenggaraan Pemilu 2019 merupakan entry point bagi Indonesia untuk melakukan loncatan inspiratif; dari sekedar sebagai negara demokrasi keempat terbesar di dunia, menjadi negara acuan praktek demokrasi paling diandalkan di muka bumi.

Sebaliknya, apabila Pemilu 2019 berlangsung anti-klimaks dari aspek kualitas, maka Indonesia berpotensi bergerak liar menuju negara gagal (failed state).

Bahaya paling liar terhadap kualitas pemilu adalah politik uang. Apabila ditelisik lebih jauh, maka dapat disimpulkan bahwa praktek politik uang sesungguhnya bermula dari konspirasi atau manuver ala kelompok mafioso dalam merampok uang negara. Pencurian uang negara secara berkomplot inilah yang dikenal dengan istilah ‘korupsi berjamaah’.

Politik uang (money politics) yang bersumber dari uang-uang haram hasil korupsi itu, bakal melahirkan pula para pemimpin politik yang berintegritas rendah. Kondisi ini bakal merobohkan bangunan demokrasi yang ideal.

Begitu berbahayanya korupsi sehingga suatu negara berdaulat dapat berubah menjadi negara gagal, seperti yang terjadi pada sejumlah negara di kawasan sub-sahara Afrika.

Hari-hari ini, kita menyaksikan adanya fakta bahwa segelintir elite politik masih tergoda untuk melakukan korupsi akibat politik berbiaya tinggi (high cost politics). Seringkali terbukti dari pengakuan oknum-oknum elite politik yang tertangkap sebagai koruptor, bahwa uang negara yang dicuri itu digunakan untuk mengganti biaya politik yang telah dikeluarkan. Ironisnya, biaya politik itu sebagian besar merupakan talangan atau pinjaman yang harus dibayar beserta dengan bunganya.

Pemilu berbiaya tinggi dan mahal membuat oknum-oknum politikus pragmatis berani menempuh jalan pintas korupsi. Kondisi tersebut menggoda elite politik melakukan tindakan korupsi untuk membiayai kontestasi politik yang diikutinya. Tidaklah heran apabila dari waktu ke waktu, terjadi peningkatan volume penangkapan oknum-oknum politikus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Data media massa menunjukkan, terhitung sejak tahun 2012 hingga menjelang akhir tahun 2018 ini, sedikitnya 25 orang kepala daerah (gubernur, dan atau bupati/walikota) telah diseret ke “Gedung Merah-Putih” di Kuningan melalui Operasi Tangkap Tangan atau OTT.

Di ranah legislatif, jumlah oknum-oknum legislator (baik di DPR, dan atau di DPRD) sudah mencapai ratusan orang. Fakta ini tentu sangat memprihatinkan, sebab para kepala daerah dan legislator yang telah diberi mandat oleh rakyat untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyat, justru terjerembab dalam tindakan tidak terpuji yakni memperkaya diri sendiri melalui korupsi.

Peristiwa penangkapan para koruptor oleh KPK, menjadi pertanda bahwa keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat telah dilukai oleh para koruptor. Di tengah kesulitan rakyat mendapatkan akses kelayakan penggunaan infrastruktur publik (listrik, jalan, dan air bersih), para koruptor justru tega melukai hati rakyat. Sejatinya, rakyat yang telah menunaikan kewajiban membayar pajak, harus memperoleh haknya yang setimpal untuk menikmati kelayakan infrastruktur publik.

Rakyat tentu saja berharap agar di masa mendatang, parpol-parpol sebagai medium promosi kepemimpinan politik harus menempuh langkah progresif untuk mempromosikan sikap anti-korupsi.

Salah satu terobosan progresif yang dapat dilakukan adalah dengan mendorong kader-kadernya di DPR dan atau DPRD, agar menempuh mekanisme pembahasan APBN dan atau APBD secara terbuka.

Hal ini mengandaikan bahwa pembahasan APBN dan APBD tersebut dilakukan dengan mengundang elemen-elemen masyarakat untuk menyaksikan secara langsung proses pembahasan anggaran di dalam sidang-sidang dewan. Terobosan ini akan menutup peluang bagi elite-elite politik yang berintegritas rendah untuk mencuri uang negara.

Kegagalan Kaderisasi

Suburnya korupsi yang dilakukan oleh elite-elite politik ditengarai merupakan akibat dari krisis ideologi perjuangan di dalam tubuh parpol. Krisis ideologi semacam ini sesungguhnya menggambarkan bahwa telah terjadi kegagalan kaderisasi di dalam partai. Kegagalan kaderisasi inilah yang menggerus dan merusak citra parpol di mata rakyat.

Selain itu, indikasi kegagalan kaderisasi juga tergambar dari cara-cara instan yang ditempuh oleh parpol untuk menaikkan popularitasnya, dengan memobilisasi masuknya artis-artis yang belum memiliki dasar-dasar kepemimpinan politik.

Fatalnya lagi, apabila artis-artis tersebut maju dalam kontestasi politik dengan hanya bermodalkan popularitas dan tampang, tanpa pernah mengikuti secara intens proses kaderisasi internal partai.

Di masa depan, parpol diharapkan bersikap lebih selektif dalam melakukan rekruitmen calon-calon pemimpin politik di lembaga suprastruktur politik. Sebab pada hakikatnya lembaga suprastruktur politik merupakan wahana bagi para politisi untuk bertarung dalam gagasan politik, demi meningkatkan kualitas pelembagaan demokrasi menuju tercapainya kesejahteraan rakyat.

Jika dicermati secara seksama, runtuhnya citra parpol terkorelasi melalui fenomena disorientasi terhadap cita-cita ideologis parpol dan demoralisasi terhadap eksistensi parpol.

Fenomena runtuhnya citra parpol tergambar pula melalui distrust public terhadap parpol, misalnya pada peristiwa kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Kota Makasar pada Pilkada serentak 2018.

Ringkasnya, keruntuhan citra parpol diakibatkan oleh minimal tiga alasan yakni politik uang (money politics), politik dagang sapi (jual-beli jabatan), dan politisasi SARA (manipulasi terhadap realitas kemajemukan suku, agama, ras, dan antar-golongan).

Kaderisasi yang benar dan bersifat sejati, merupakan cara terampuh untuk menghadapi petualangan atau avonturisme politik yang kian mengental di masa sekarang ini. Dalam konteks hak berdemokrasi, setiap warga negara —siapapun dan apapun profesinya—bisa terjun ke dalam kontestasi politik melalui parpol. Namun, hak berdemokrasi itu harus ditempuh dengan melakoni proses kaderisasi yang tuntas!**

ERWIN RICARDO SILALAHI
Wakil Ketua Umum Depinas SOKSI