News  

Wamenkumham Eddy Hiariej: Pasal Penghinaan Presiden Takkan Dihapus Dari RKUHP

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Sharif Omar Hiariej menegaskan bahwa pasal penghinaan presiden tidak akan dihapus dari Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang saat ini masih digodok bersama DPR.

“Tidak akan kita hapus. Tidak Akan,” kata pria yang akrab disapa Eddy ini di Gedung MPR/DPR, Senayan, Selasa (28/6).

Eddy menambahkan, pihak yang tidak setuju dapat mengajukan gugatan uji materi lewat jalur Mahkamah Konstitusi.

Pemerintah pun tidak mempermasalahkan bila banyak masyarakat yang menolak. Siang ini, para mahasiswa tengah berdemo menuntut dibukanya draf RKUHP ke publik.

“Intinya kita begini ya, tidak akan mungkin memuaskan semua pihak, Jadi kalau tidak setuju ya pintu MK kan terbuka.

Pasal itu diuji dan ditolak MK. Kalau ditolak, itu artinya bertentangan atau tidak? Kan berarti tidak bertentangan,” ujarnya.

“Ada Putusan MK 2006, kan waktu itu yang diuji 4 pasal, 134, 135,136, 207. Dan 207 tentang penghinaan terhadap Penguasa Umum. 134, 135,136 dikabulkan. 207 ditolak.

Perintah MK, mengubah delik itu menjadi delik aduan. Itu sebabnya mengapa bunyi pasal 351, 353, 354 RKUHP delik aduan. Berdasarkan putusan MK.

Makanya kalau saya tantang, yang tidak setuju dibawa ke MK enggak berani, karena pasti ditolak,” beber Eddy.

Eddy juga menyebut bahwa orang yang menolak pasal penghinaan presiden adalah sesat berpikir. Sebab, kata dia, penghinaan dan kritik adalah dua hal yang berbeda.

Ia menjamin RKUHP hanya mengatur bagi penghina pemerintah.

“Itu orang yang sesat berpikir, dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Yang dilarang itu penghinaan, ini bukan kritik. Dibaca enggak, kalau mengkritik tidak boleh dipidana.

Kan ada di pasalnya, Jadi apalagi? Jadi yang mengatakan penghinaan sama dengan kritik itu mereka yang sesat pikir, yang tidak membaca,” jelasnya.

Ia juga menjelaskan alasan penghinaan presiden tidak bisa dilakukan secara perdata. Sebab, hukum pidana Indonesia meletakkan penghinaan sebagai mala in se atau sesuatu yang bertentangan dengan kewajaran dan moral yang diletakkan sebagai hukum pidana.

“Soal penghinaan itu tidak bisa rujukan negara lain ya, karena itu pasal spesial. Saya selalu menjelaskan penghinaan di kita dan negara barat itu berbeda. Kita dalam hukum pidana meletakkan penghinaan itu sebagai mala in se, berbeda dengan negara lain mereka meletakkan penghinaan itu sebagai mala prohibita. Dari segi konsep itu saja sudah berbeda,” tandasnya.(Sumber)