Tiga Hari Shalat Idul Adha di Padang Pariaman

Menarik dilaporkan dari Padang Pariaman, akan berlangsung shalat ied hingga hari senin. Hari ini Masjid Muhammadiyah sudah shalat idul adha. Resmi hari minggu besok (10/07) di masjid nasional. Total 3 hari shalat idul adha di kampung Padang Pariaman.

Shalat iedul adha di hari senin ini biasanya dilakukan oleh masjid kaum adat. Atau biasa dilabeli sebagai “urang puaso kudian”. Terjemahannya bebasnya adalah “kaum puasa kemudian” yang melihat hilal langsung dan meyakini apabila masuk tanggalnya dengan mata kepala sendiri.

Kaum puasa kemudian ini murni merujuk pada tradisi para ulama berbasis adat. Tidak ada yang salah dengan pelaksanaan adat ini. Pemerintah pun sudah mengatur dalam UU baru tentang Provinsi Suamtera Barat.

Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah (ABS-SBK)
Kaum muslim Minangkabau umumnya menjaga adat dan tradisi. Hal ini dikukuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Undang-undang baru yang mengatur Provinsi Sumatera Barat. UU baru ini menggantikan UU no. 61 tahun 1958 (SI online, 05/07). Sebelumnya UU ini menggabungkan aturan dari 3 provinsi: Sumbar, Riau dan Jambi. Tentu ini menegaskan nilai falsafah urang awak sebagai warga negara berkarakter religious.

Dalam pasalnya disebutkan “Pelaksanaan nilai falsafah adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Mengutip pasal 5 huruf C, menetapkan ABS-SBK sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku.

Maksud “salingka” disini bisa diartikan se-circle-nya (kata anak jaman now). Selingkaran atau circle adalah hubungan lingkaran tingkat meso. Bila merujuk pada kampung dan komunitas adat, maka shalat iedul adha di hari senin dapat diterima oleh urang kampungnya tidak ada perselisihan atas pelaksanaan ied hingga hari senin.

Perubahan jaman dan kemajuan teknologi tidak menyurutkan circle-circle kaum adat di Sumatra Barat. Termasuk di Kabupaten Padang Pariaman. Agama mendasari, negara mengatur, tentunya adat memakai. Demikian kira-kira terjemahan umum dari alam berpikir orang Minangkabau. Tidak ada pembangkangan oleh kaum adat Minangkabau, mereka meyelaraskan saja. Mudah-mudahan tidak dianggap sebagai islam nusantara, islam kanan atau label-label lainnya.

Dalam perkembangan berbangsa dan bernegara dapat dikatakan bahwa Provinsi Sumatera Barat relatif berhasil menjaga keselarasan antara agama, adat dan NKRI (Hari Waluyo, Peneliti Senior Kebudayaan). Orang Padang Pariaman, sebagai contoh dari tulisan ini adalah kampung para perantau dengan modal sosial sebagai pedagang.

Bisnis dagangan mereka merujuk pada 4 pilar bisnis: Makanan, Pendidikan, Kesehatan dan Transportasi. Mereka banyak mendirikan model bisnis kuliner dengan waralaba apprentice. Maksudnya, pengusaha yang telah sukses mendirikan RM Padang dirantau, wajib mengkader bujangan baru.

Dengan menampung anak baru perantau dari kampung di tempat usaha mereka. Hingga sang aprentis (kader) mampu mendirikan usaha sendiri. Dan disitulah muncul nama-nama waralaba mandiri dengan nama mirip-mirip: RM. Mato aie, RM Sari Raso, RM Pincuran tujuah dan nama-nama lain khas RM Padang aseli Padang Pariaman. Tapi brandingnya (font, tata warna dan sebagainya) bisa jadi tidak mirip. Namun dari nama sudah dapat dipastikan pemiliknya asli dari padang piaman.

Perekat Nusantara
Dari pola bisnis komunitas asli Padang Pariaman kita dapat mengambil simpulan bahwa perantau Minangkabau hidup membaur. Urang awak menolak hidup komunal, tidak ditemukan satupun Kampung Minangkabau di pelosok manapun diatas bumi.

Kelakarnya; kalaulah ada komunitas manusia di bulan, orang padang akan membuka usaha disana tanpa harus membangun kampung sendiri. Pedagang garis keras dari jalur Minangkabau ini juga terlihat dari penolakan terhadap supermarket jaringan nasional seperti Indomaret, Alfa mart group dan lainnya. Tujuan penolakan ini adalah untuk melindungi toko-toko serba ada milik lokal.

Tentunya ada kekhawatiran terhadap kemajuan Minangkabau sebagai bagian dari negara NKRI. Bahwa akan munculnya perda syariah dari Nagari Minang. Walaupun sudah disangkal Feri Amsari (Pakar Unand) dalam wawancaranya dengan CNN. Atas implikasi dari turunan UU baru tersebut. Kontestasi opini Pakar dalam artikel itu kuatir akan perkembangan Islam di Minangkabau. Adat dalam sisi pemikiran kebijaksaan lokal (local wisdom) adalah tameng terakhir dalam menghadapi gerusan negatif society 5.0.

Sebagai contoh praktik ABS-SBK di Minangkabau, mencegah warganya untuk masuk dalam kondisi pra-sejahtera. Apabila kemalangan terjadi pada satu anak cucu kemenakan urang awak mereka sah bergantung pada pusako tinggi. Penjelasan-penjelasan ini tentu akan banyak diperdebatkan. Seperti pro-kontra penjualan tanah ulayat yang tidak dapat diperjualbelikan. Karena begitu dijual maka jaring pengaman kesejahteraan kaum, anak, cucu dan kemenakan akan berisiko diperantauan. Lain cerita apabila kaum tersebut sudah mendapatkan financial freedom hasil merantau. Kedekatan dengan harta pusako tinggi akan kehilangan maknanya.

Pada untaian paparan diatas penulis ingin:

1) mengapresiasi penetapan UU tentang Aturan Provinsi Sumatera Barat.
2) menggarisbawahi bahwa dalam hidup bermasyarakat, bernegara dan beragama orang minang khususnya di Padang Pariaman sudah sangat cair akan perbedaan. Tanpa merubah tata cara pakem beribadahnya (seperti tata cara sembahyang yang berbeda atau syariah lainnya).
3) Orang Minang walaupun ada yang melemparkan wacana daerah “istimewa” namun pada intinya berisikan masyarakat cair dan berketahanan. Adapun outlier statistika masih terdapat di catatan media tentang praktik berbedanya tata laksana ibadah namun tetap mereka satu akidah dalam pergaulan. Akhir kata penulis mengucapkan selamat hari raya iedul adha.

Simpang Galanggang 9 Juli 2022
Romeyn Perdana Putra, Peneliti BRIN