News  

Harga Karet Anjlok Parah, Jokowi Resah

Harga Karet Anjlok Parah, Jokowi Resah Radar Aktual

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melontarkan sebuah inisiatif untuk mendongkrak harga karet di tengah tren penurunan harga komoditas global.

Inisiatif tersebut adalah dengan memerintahkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat membeli karet dari kebun rakyat untuk pengaspalan jalan.

Hal itu ia sampaikan dalam Evaluasi Kebijakan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Sosialisasi Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019, di Palembang, Minggu (25/11/2018) sore.

Jokowi mengemukakan sebulan lalu dirinya telah memerintahkan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono agar memulai pelaksanaan inisiatif tersebut.

“Ini sebentar lagi yang di Sumsel ini kita akan beli langsung dari petani dari koperasi untuk beli getah karetnya, dibeli langsung oleh Menteri PUPR, harganya Rp 7.500-Rp 8.000,” kata Presiden, dikutip dari siaran pers, Senin (26/11/2018).

Sebenarnya wajar Bapak Presiden resah, hingga turun langsung mengintervensi pasar karet dalam negeri. Pasalnya, harga karet global memang sedang menjalani masa yang amat suram.

Berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, harga karet kontrak acuan di Tokyo Commodity Exchange (TOCOM) sudah ambrol hingga 25,16% di sepanjang tahun 2018 (year-to-date/YTD).

Sebagai informasi, kejatuhan harga karet sebenarnya tidak hanya terjadi di tahun ini. Harga karet bahkan sudah amblas nyaris 22% di sepanjang tahun 2017. Artinya, sudah dua tahun terakhir harga karet terjun bebas.

Amblasnya harga karet di tahun ini utamanya didorong berkecamuknya perang dagang Amerika Serikat (AS)-China. Akibatnya, kisruh dagang ini semakin menekan pertumbuhan ekonomi dunia yang berdampak buruk pada konsumsi karet alam secara keseluruhan.

Sebagai pemain utama di perang dagang AS-China, ekonomi Negeri Panda menjadi salah satu yang terdampak cukup parah. Padahal, China mengkonsumsi 5,39 juta ton karet alam di tahun 2017, mencapai 40% dari total konsumsi dunia.

Akibat perlambatan ekonominya, konsumsi karet alam di Beijing tercatat turun 3,4% secara tahunan (year-on-year/YoY) di periode Januari-September 2018.

Selain panasnya perang dagang, konsumsi karet China juga dipengaruhi oleh industri ban otomotif yang sedang terpuruk akibat depresiasi mata uang Negeri Tira Bambu. Di sepanjang tahun 2018, yuan China memang sudah melemah nyaris 7% terhadap dolar AS di pasar spot.

Pelemahan yuan China membuat impor bahan baku (termasuk karet alam) akan semakin mahal, sehingga memaksa industri ban otomotif untuk menekan produksinya. Hal ini lantas sukses menekan harga karet lebih jauh di tahun ini.

Indonesia sendiri merupakan produsen karet no. 2 terbesar di dunia. Mengutip data Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (GAPKINDO), produksi karet alam RI mencapai 3,63 juta ton pada tahun 2017. Jumlah itu meningkat sekitar 8% secara tahunan YoY dari catatan tahun 2016 sebesar 3,36 juta ton.

Jumlah produksi RI yang sebesar itu hanya kalah dari produksi karet alam Thailand yang mencapai 4,44 juta ton di tahun lalu.

Dari jumlah produksi semasif itu, hampir seluruhnya diekspor oleh Indonesia. Pada tahun 2016, GAPKINDO mencatat bahwa ekspor karet alam mencapai 2,58 juta ton, atau sekitar 77% lebih dari total produksi. Dari volume ekspor itu, pendapatan ekspor RI dari komoditas karet mencapai US$ 3,37 juta pada tahun lalu.

Meski demikian, apabila melihat data historisnya, nilai ekspor karet alam RI terus menurun. Dalam 5 tahun terakhir (2011-2016), nilai ekspor karet alam RI sudah menurun 70% lebih. Padahal, volume ekspornya cenderung tidak terlalu bergejolak. Artinya, harga karet yang amblas sangat berpengaruh pada turunnya pendapatan ekspor RI dari komoditas karet.

Melihat fakta-fakta yang dibeberkan di atas, langkah presiden Jokowi untuk meningkatkan penyerapan konsumsi karet domestik menjadi wajar untuk diambil. Di tengah konsumsi global yang diekspektasikan lesu, kebijakan ini memang diharapkan dapat tetap memberikan “nafas” bagi industri karet dalam negeri, sekaligus mencegah harga karet jatuh lebih dalam.

Intervensi pemerintah juga sebenarnya terjadi di Thailand. Kementerian Pertanian dan Koperasi Thailand menawarkan 3000 Baht/rai (1600 m2) bagi petani yang setuju untuk tidak menyadap latex di kebunnya selama 3 bulan.

Hal ini diimplementasikan pemerintah Negeri Gajah Putih per November 2018-April 2019, dan diperkirakan dapat mengurangi pasokan sekitar 200.000 ton.

Dengan intervensi yang dilakukan pemerintah di 2 top produsen karet utama dunia, mudah-mudahan harga karet tidak jatuh lebih dalam lagi…