News  

Viral Natto Challenge di Medsos, LPPOM MUI Blak-Blakan Soal Kehalalan Lauk Khas Jepang Ini

Baru-baru ini viral mengenai tantangan makan natto, alias natto challenge di media sosial. Tampilan natto yang aneh dan agak “menjijikan” karena berlendir, memicu warganet untuk membuat tantangan mencoba makanan khas Jepang tersebut.

Umumnya, di Negara Sakura, natto menjadi lauk atau topping saat menikmati nasi panas. Guna menambah rasa, masyarakat Jepang juga suka memberikan beberapa tetes kecap asin atau mirin ke atas natto. Barulah makanan dicampur dan disantap.

Kendati rasa dan bau khas natto begitu asing bagi masyarakat Indonesia. Ada yang menyebutnya bau seperti “kaus kaki” hingga rasa yang mirip tauco.

Lantaran mulai banyak yang mencoba mengonsumsi natto, lantas apakah kamu tahu bagaimana titik kritis kehalalan makanan ini?
Mengutip rilis LPPOM MUI yang kumparan terima, Kamis (21/7), titik kritis pertama dilihat dari cara membuatnya.

Natto terbuat dari biji kedelai yang dimasak. Hal ini bertujuan untuk membuat spora bakteri mudah penetrasi biji kedelai.

Kemudian, kedelai ini ditiriskan dan diberikan nattō-kin berisi bakteri yang didominasi Bacillus subtilis, lalu disimpan agar terjadi fermentasi.

Setelah selesai, natto dikemas dan dijual dengan bahan pelengkap lain atau bumbu, seperti kecap dan mustard. Natto pun kini dapat dengan mudah kita temukan di supermarket asing.

Namun, banyak yang menganggap proses fermentasi natto menjadi salah satu titik kritis kehalalan produk ini karena dianggap dapat menghasilkan produk samping berupa alkohol.

Padahal, tidak semua fermentasi dapat menghasilkan produk samping berupa alkohol.

Selain itu, Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 10 Tahun 2018 tentang Produk Makanan dan Minuman yang Mengandung Alkohol/Etanol menyebutkan bahwa produk makanan hasil fermentasi yang mengandung alkohol/etanol hukumnya halal, selama dalam prosesnya tidak menggunakan bahan haram dan apabila secara medis tidak membahayakan.
Titik kritis kehalalan lainnya dari natto

Meskipun begitu, ada titik kritis lain mengenai halal atau tidaknya makanan tradisional Jepang ini. Manager Corporate Communication Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), Raafqi Ranasasmita, M.Biomed, menyebutkan bahwa media untuk menumbuhkan bakteri Bacillus dalam proses pembuatan natto menjadi salah satunya.

“Secara tradisional, bakteri diambil dari sisa produksi sebelumnya. Namun, pembuatannya bisa saja menggunakan media mikrobiologi. Titik kritis media mikrobiologi terletak pada sumber nitrogen, yang bisa berasal dari ekstrak daging, pepton hidrolisis daging, dan bahan lainnya,” jelas Raafqi.

Kandungan dalam media mikrobiologi seperti yang disebutkan itulah, yang menurut Raafqi perlu ditelusuri; berasal dari hewan halal yang disembelih sesuai syariah Islam atau tidak?

Kemudian, titik kritis selanjutnya tertuju pada bumbu pelengkap yang bisa saja mengandung bahan non-halal, seperti minuman keras atau kaldu daging yang belum jelas kehalalannya.

Sebab di Jepang, penggunaan khamr seperti sake dan mirin lumrah digunakan sebagai campuran masakan.

Oleh karena itu, penting bagi konsumen muslim untuk selalu memastikan kehalalan produk. Selain mengecek langsung pada kemasan, konsumen muslim juga bisa memanfaatkan fitur cek produk halal pada situs resmi LPPOM MUI atau aplikasi Halal MUI.

Dengan begitu, diharapkan masyarakat muslim tidak menjadi ragu atau takut dalam mengonsumsi makanan jenis baru.(Sumber)