News  

Harga Pertalite Rp.10 Ribu, Maka 100 Ribu Orang Bakal Jatuh Miskin

Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi, Pertalite maupun Solar, sudah di depan mata. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan terang-terangan menyebut pengumuman harga BBM naik akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan ini.

“Mungkin minggu depan (minggu ini) presiden akan mengumumkan mengenai apa dan bagaimana mengenai kenaikan harga (BBM) ini,” ujarnya, dalam kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Jumat (18/7).

Harus diakui, pemerintah seperti tak punya pilihan lain karena harga minyak mentah dunia melonjak setelah perang Rusia-Ukraina. Hal itu berpotensi membuat belanja subsidi energi semakin membengkak.

“Jadi, presiden sudah mengindikasikan tidak mungkin kita mempertahankan demikian karena harga BBM kita termurah se-kawasan dan itu beban untuk APBN,” terang Luhut.

Tahun ini pemerintah mengalokasikan subsidi energi sebesar Rp502 triliun atau naik dari rencana awal yang hanya Rp170 triliun. Sementara, harga BBM penugasan Pertalite masih ditahan di level Rp7.650 per liter dan Solar bersubsidi Rp5.150 per liter.

Jokowi sempat menyatakan harga keekonomian atau harga pasar Pertalite sebenarnya mencapai Rp17.100 per liter. Ini berarti, pemerintah mensubsidi Rp9.450 per liter selama ini.

Sejumlah pengamat memproyeksi harga BBM Pertalite minimal naik 30 persen menjadi Rp10 ribu per liter. Lalu, harga Solar bersubsidi naik lebih besar sekitar 55 persen menjadi Rp8.000 per liter.

Jika ‘mimpi buruk’ ini benar-benar terjadi, beban pengeluaran masyarakat kelas menengah ke bawah akan membengkak. Alih-alih membaik pascapandemi, hidup banyak orang justru makin susah.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan jumlah orang miskin akan tambah banyak jika pemerintah mengerek harga Pertalite dan Solar bersubsidi. Sebab, biaya untuk membeli BBM mau tidak mau akan bertambah mahal.

Hal itu akan berpengaruh kepada sebagian masyarakat kelas menengah ke bawah yang memiliki sepeda motor dan bergantung pada Pertalite.

“Kalau masyarakat yang berada sedikit di atas garis kemiskinan ini punya motor butut, dikasih orang misalnya. Berarti, pengeluaran untuk bensin bertambah,” ucap Faisal.

Selain itu, tarif angkutan umum juga berpotensi naik jika pemerintah mengerek harga Pertalite atau Solar. Dengan demikian, biaya yang harus dibayar penumpang akan semakin mahal.

Terlebih, beberapa truk pengangkut barang atau sayur-mayur biasanya menggunakan Solar bersubsidi. Biaya operasional pedagang tentu ikut bertambah dari sebelumnya.

Pedagang sudah pasti akan membebani kenaikan harga itu kepada konsumen dengan menjual bahan pangan lebih mahal. Sebab, tidak mungkin pedagang menjual sayur-mayur sesuai harga modal.

“Dampak tidak langsungnya, harga makanan jadi lebih mahal. Beras, minyak, gula, menjadi lebih mahal karena BBM naik. Bahan pangan kena,” kata Faisal.

Sementara itu, sebagian besar pengeluaran masyarakat kelas menengah bawah digunakan untuk makan. Tentu, kenaikan harga pangan akan berpengaruh besar terhadap hidup mereka.

“Orang di sekitar garis kemiskinan ini kan porsi pengeluaran untuk makanan tinggi terhadap total belanja mereka per bulan, sehingga rentan dengan kenaikan harga pangan dibandingkan dengan orang kaya atau menengah,” jelasnya.

Di sisi lain, pendapatan masyarakat kelas menengah bawah tidak meningkat dari sebelumnya. Bahkan, beberapa dari mereka belum mendapatkan upah seperti sebelum pandemi.

“Ada yang sudah kembali bekerja, tapi upah belum balik seperti pra pandemi. Upah belum pulih, biaya hidup naik, jadi lebih miskin,” ucapnya.

Karenanya, ia memperkirakan jumlah orang miskin berpotensi naik, bahkan hingga ratusan ribu orang. “(Jumlah orang miskin) bertambah lebih dari 100 ribu orang, angka persisnya belum saya kalkulasi,” kata Faisal.

Lebih dari itu, ia memproyeksi inflasi pangan berpotensi tembus hingga 15 persen jika harga BBM subsidi naik. Lalu, inflasi umum berpeluang menjadi 7 persen sampai 8,5 persen tahun ini.

“Dampaknya besar sekali ke masyarakat menengah bawah, garis kemiskinan akan naik, kalau garis kemiskinan naik, mereka yang tadinya di sekitar garis kemiskinan akan jatuh di bawah garis kemiskinan. Jumlah orang miskin akan naik,” ungkap Faisal.

Inflasi dan Ekonomi Jadi Taruhan
Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat jumlah orang miskin akan bertambah jika harga Pertalite dan Solar naik. Kemampuan masyarakat menengah bawah jelas akan berkurang signifikan.

“Dampak dari kenaikan harga BBM itu yang berimplikasi kepada penurunan belanja yang lain, ini bisa berdampak pada kemiskinan. Jumlah orang miskin bertambah,” tutur Josua.

Biasanya, harga pangan yang paling berdampak jika harga BBM subsidi naik. Selain itu, harga barang lain yang menggunakan jasa logistik juga akan semakin mahal.

Belum lagi, biaya operasional angkutan umum berpotensi meningkat usai harga BBM naik. Kalau sudah begitu, masyarakat harus siap-siap merogoh kocek lebih dalam untuk membayar tarif angkutan umum.

“Terus ojek online, taksi online, semua pasti akan naik juga. Jadi artinya dampak tidak langsungnya besar, apalagi Solar,” terang Josua.

Hal itu akan membuat inflasi semakin tinggi. Ia memprediksi inflasi RI lebih dari 6 persen pada akhir 2022.

“Dengan asumsi kenaikan Pertalite dan Solar sama-sama 30 persen, dampak ke inflasi naik hampir 1 persen,” imbuh Josua.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi RI tembus 4,94 persen pada Juli 2022. Angka itu menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2015 lalu.

Ketika inflasi naik, jumlah orang miskin akan bertambah. Meski, ia mengaku belum menghitung secara pasti berapa potensi penambahan jumlah orang miskin setelah harga BBM subsidi naik.

“Tingkat kemiskinan sekitar 9,54 persen, 2022 diperkirakan pemerintah setidaknya bisa 8,5 persen atau 9 persen. Dengan kondisi ini, mungkin target pemerintah bisa meleset,” ucap Josua.

BPS mencatat jumlah orang miskin sebanyak 26,16 juta orang pada Maret 2022. Angka itu turun dibandingkan posisi September 2021 yang sebanyak 26,5 juta. “Efek kenaikan harga BBM berimplikasi ke inflasi ini kan akan menambah jumlah orang miskin,” jelasnya.

Tak hanya itu, ekonomi RI juga berpotensi melambat kalau harga BBM subsidi naik. Sebab, konsumsi masyarakat akan menurun ke depannya.

Konsumsi masyarakat masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi di dalam negeri. Alhasil, naik atau turunnya konsumsi akan berpengaruh terhadap ekonomi RI. “Kalau implementasi kenaikan harga BBM pada kuartal III 2022, mungkin dampaknya terasa kuartal IV 2022,” kata Josua.

Dengan asumsi ada kenaikan harga BBM subsidi, ia memproyeksi ekonomi RI mentok di area 4 persen sepanjang 2022.

Berdasarkan data BPS, ekonomi RI tumbuh 5,44 persen pada kuartal II 2022. Realisasi itu lebih tinggi dibandingkan kuartal I 2022 yang hanya 5,01 persen. Kendati demikian, pemerintah masih optimistis ekonomi RI tumbuh 5 persen sampai 5,2 persen sepanjang tahun ini.

(Sumber)