News  

Jokowi Bangun 38 Bendungan Tanpa Disertai Tenaga Irigasi, Mau Diserahkan Pada Jin?

Sejak awal pemerintahannya pada 2014 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus mendorong pembangunan bendungan baru.

Bahkan, saat berpidato dalam kegiatan Musyawarah Rakyat (Musra) I Jawa Barat, di Bandung, Minggu (28/8), Jokowi menyatakan sebanyak sembilan bendungan baru yang bakal rampung dibangun pada akhir 2022, sehingga Indonesia bakal memiliki 38 bendungan.

Selama masa kepemimpinan Jokowi, hingga saat ini sudah membangun 29 bendungan.

“Sampai hari ini telah kita bangun 29 bendungan. Ini bendungan besar, plus sembilan nanti di akhir tahun ini,” kata Jokowi di GOR Arcamanik, Kota Bandung, Jawa Barat.

Bendungan-bendungan yang dibangun itu menurut Jokowi telah terasa dampaknya bagi sektor pertanian, khususnya produksi padi.

Aliran dari bendungan itu disebut telah membuat produksi panen padi meningkat hingga dua kali lipat.
“Orang tidak merasakan, tapi hadirnya bendungan itu membuahkan hasil bahwa kita sudah swasembada beras sejak tahun 2019,” katanya.

Namun, menurut Guru Besar Teknik Irigasi Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif, pembangunan bendungan bukan ilmu sapu jagad yang bisa menyelesaikan semua masalah pengairan pertanian di Indonesia.

“Bendungan dibangun tapi 4 pilar lainnya dibiarkan ya sama saja, rusak irigasi kita, sistem pengairan kita. Emang yang mau ngurus sungai dan semua sistem irigasi sehingga air mengalir ke bendungan dan ke sawah, mau diserahkan ke Jin?” papar Sigit.

5 Pilar Sistem Irigasi

Bendungan, menurut Sigit Supadmo Arif hanyalah pilar kedua dari 5 pilar sistem irigasi.
Pilar pertama adalah keandalan air, baru bendungan, disusul tata kelola, institusi dan manajemen, dan terakhir adalah manusia yang menjalankannya.

Menurut Sigit, selama ini sumber daya manusia menjadi pilar yang paling lemah dan kurang mendapat perhatian dari pemerintah.

“Kalau hanya fokus pada pembangunan infrastruktur saja, lima tahun lagi bisa jadi sudah pada rusak bendungan yang dibangun mahal-mahal itu karena enggak ada SDM operasional dan pemeliharaannya,” katanya kepada Pandangan Jogja @Kumparan, di Yogyakarta, Jumat (2/9).

Karena itu, pertama yang harus ditegaskan oleh pemerintah secepatnya adalah bahwa penghapusan tenaga honorer terutama di bidang pengairan ditangguhkan terlebih dahulu.

Penghapusan itu menurut Sigit tidak bisa dipukul rata, sebab ada sektor-sektor strategis seperti sektor pangan dan penunjangnya, yang jika tenaga honorernya dihapus bisa mengalami kelumpuhan.

“Pertanian kan enggak mungkin bisa jalan kalau tidak ada pengairan yang baik. Jadi penghapusan tenaga honorer yang jumlahnya setengah lebih ini bisa berdampak pada kelumpuhan sektor pangan nasional,” tegas akademisi bergelar profesor ini.

Ya, di level nasional tenaga honorer di bidang pengairan berkontribusi sampai 75 persen dari total pegawai sedangkan di daerah lebih dari 50 persen. Itu pun jumlahnya masih sangat kurang, di level nasional kurang 20 persen dan di daerah masih kurang 50 persen lebih.

Pemerintah menurut dia harus memberikan prioritas terhadap sektor-sektor strategis, termasuk sektor pengairan.

Sebab, sektor pengairan ini tak hanya berkaitan erat dengan sektor pangan, tapi juga akan berkaitan dengan persoalan lingkungan, bencana hidrometeorologis, keamanan masyarakat terhadap kemungkinan konflik baik horizontal maupun vertikal, serta persoalan ikutan lainnya.

Untuk mencegah kelumpuhan sektor-sektor itu karena kekurangan SDM di sektor pengairan, pemerintah menurutnya harus memberikan prioritas kepada petugas-petugas pengairan yang termasuk sektor strategis.

Misalnya dengan memberikan status pegawai-pegawai honorer tersebut menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).

“Tidak perlu PNS lah, PPPK saja sudah cukup, sehingga mereka punya status, karena sekarang enggak punya status,” ujar Sigit Supadmo Arif.

Jangan hanya karena masalah efisiensi, pemerintah menghapus pegawai-pegawai tersebut tanpa memikirkan lebih jauh dampaknya.

Sigit juga menyoroti Kementerian Pembangunan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemen PUPR) yang tidak memiliki pegawai negeri untuk pengelolaan irigasi. Padahal tenaga sosilisasi pertanian milik Kementan berstatus PNS.

“Nah, kan sawah itu di bawah Kementan, irigasinya Kemen PUPR dan status pegawainya yang beda bikin kecemburuan sosial juga,” pungkas Sigit(Sumber)