News  

Eks Kapolres Bandara Soetta Diduga Terima Rp.7,3 Miliar, ICW Desak KPK Turun Tangan

ICW mendesak KPK segera melakukan penyelidikan terkait dengan penerimaan uang sebesar Rp 7,3 miliar oleh eks Kapolresta Bandara Soekarno Hatta, Kombes Edwin Hatorangan.

Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan, pengusutan tersebut perlu dilakukan karena setidaknya ada dua delik korupsi yang bisa didalami KPK, yakni: Pasal 8 UU Tipikor terkait penggelapan dalam jabatan dan Pasal 12 UU Tipikor terkait Penerimaan Suap.

“Sebagaimana ramai dibincangkan masyarakat dan berdasarkan putusan etik Polri, Edwin diduga menerima uang dari Kasat Reserse Narkoba Polres Bandara Soetta. Perbuatan ini diduga keras memenuhi unsur Pasal 8 UU Tipikor karena setiap pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang sedang menjabat dilarang menggelapkan uang berkaitan pekerjaannya,” kata Kurnia dalam keterangan tertulisnya, Selasa (6/9).

“Ancaman hukumannya pun terbilang berat, jika diproses hukum dengan regulasi tersebut, Edwin dapat mendekam dipenjara selama 15 tahun,” tambahnya.

Kurnia mengatakan, pasal penerimaan suap itu memang belum terlalu terang, tapi justru menjadi tugas KPK mendalami itu.

“Kedua, Pasal 12 UU Tipikor terkait Penerimaan Suap. Sekali pun delik ini belum tergambar jelas, namun penting bagi KPK untuk menelusuri lebih lanjut ihwal latar belakang atau motif penerimaan uang miliaran rupiah itu,” kata dia.

Penelusuran yang dimaksud Kurnia terkait apakah penerimaan uang dari barang bukti yang diserahkan Kasat Reserse Narkoba Polres Bandara Soetta kepada Edwin berkaitan dengan suatu janji untuk mengurus perkara pokok.

“Jika iya, maka Edwin bisa dikenakan Pasal 12 UU Tipikor dengan ancaman maksimal pidana penjara seumur hidup,” jelas Kurnia.

Lewat desakan ini, ICW ingin mengingatkan KPK bahwa mandat utama berdirinya lembaga antirasuah tersebut salah satunya membersihkan institusi aparat penegak hukum. Bahkan, Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK menyebut klaster aparat penegak hukum sebagai entitas pertama yang dapat diselidiki, disidik, dan dituntut KPK.

“Jadi, dari sudut pandang perbuatan dan latar belakang terduga pelaku sudah memenuhi syarat untuk dapat ditindak lanjuti KPK,” imbuhnya.

Juru bicara KPK Ali Fikri sempat menanggapi soal dugaan penerimaan sejumlah uang oleh Kapolres Bandara itu. Ia mengatakan KPK dibatasi aturan perundangan yakni Pasal 11 UU KPK dalam menangani setiap kasus.

Namun demikian, Ali meminta masyarakat untuk melaporkan ke KPK apabila mengetahui terkait dugaan penerimaan uang tersebut.

Kurnia turut memberikan tanggapan terkait pernyataan Ali itu. Kurnia menilai apa yang disampaikan Ali tak sesuai dengan tupoksi KPK. Sebab, peristiwa penerimaan tersebut sudah menjadi pengetahuan jamak oleh publik.

“Kami tidak memahami maksud pernyataan Jubir Penindakan KPK, Ali Fikri, yang meminta masyarakat untuk segera melaporkan peristiwa itu ke KPK. Jangan lupa, KPK tetap dapat melakukan penyelidikan, sekalipun tanpa laporan masyarakat, secara mandiri. Menjadi janggal jika kemudian KPK mengutarakan itu, mengingat pemberitaan penerimaan uang oleh Edwin sudah diketahui secara jamak oleh masyarakat dan telah terbukti juga dalam proses persidangan etik Polri,” kata Kurnia.

“Kami menduga pernyataan Ali itu hanya sekadar upaya untuk menghindar dari tanggung jawab lembaga untuk melakukan penindakan dugaan tindak pidana korupsi,” pungkasnya.

Edwin Hatorangan Hariandja sudah disanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) alias dipecat dari Polri. Ia diduga menyalahi wewenang dalam penanganan kasus narkoba saat menjabat sebagai Kapolres Bandara Soetta.

Tidak hanya itu, Edwin juga diduga menerima uang dari Kasat Reserse Narkoba sebesar USD 225 ribu [sekitar Rp 3,3 miliar] dan SGD 376 ribu [sekitar Rp 3,9 miliar]. Uang itu berasal dari barang bukti yang disita dalam penanganan kasus narkoba. Uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi.

“Berdasarkan hasil sidang KKEP terduga pelanggar terbukti telah melakukan ketidakprofesionalan dan penyalahgunaan wewenang sehingga komisi memutuskan sanksi bersifat etika yaitu perilaku pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela, dan sanksi administratif berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) sebagai anggota Polri,” kata Kadiv Humas Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulisnya, Rabu (31/8).

Edwin bukan satu-satunya yang mendapatkan sanksi terkait kasus tersebut. Dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) yang digelar pada 30 Agustus 2022 itu juga menjatuhkan sanksi PTDH kepada mantan Kasat Reserse Narkoba Polres Bandara Soetta AKP Nasrandi dan Kasubnit Satresnarkoba Polres Bandara Soetta Iptu Triono A.

Sementara Kanit Satresnarkoba Polres Bandara Soetta, Iptu Pius Sinaga, dijatuhi sanksi demosi 5 tahun. Kemudian 7 personel Bintara yang merupakan anggota Satresnarkoba Polres Bandara Soetta didemosi selama 2 tahun.

Belum ada pernyataan dari Edwin terkait kasus tersebut. Namun atas vonis KKEP itu, Atas putusan PTDH itu, Kombes Edwin mengajukan banding.(Sumber)