News  

Forum KiSSNed Desak Polri Profesional Berantas Judi Online, Segera Periksa Politikus Terlibat!

Forum Kajian Isu Strategis Negara Demokrasi (Forum KiSSNed) menggelar diskusi publik bertajuk “Membongkar Keterlibatan Petinggi Negara dalam Pusaran Judi Online: Indonesia Komitmen Berantas?” pada akhir pekan ini di kawasan Jakarta Timur. Diskusi ini dihadiri oleh sejumlah tokoh nasional dari berbagai latar belakang, termasuk anggota DPR RI, pengamat kepolisian, jurnalis investigasi, hingga aktivis antikorupsi.

Kegiatan ini dihadiri oleh puluhan peserta dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan masyarakat umum yang prihatin atas makin maraknya praktik judi online yang menyeret generasi muda dan diduga dibekingi oleh elite politik serta oknum penegak hukum.

Dalam diskusi tersebut, Hasbiallah Ilyas, anggota Komisi III DPR RI, menegaskan penolakannya terhadap legalisasi judi online. Ia mendesak institusi kepolisian, khususnya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, untuk memiliki keberanian politik dalam mengungkap mafia judi online.

“Mafia judi online itu mudah ditangkap. Persoalannya hanya pada keberanian dan kemauan dari institusi hukum kita,” ujar Hasbiallah, Senin (23/6/2025).

Ia juga menyinggung ketidakpastian hukum yang memperburuk situasi, menyebut bahwa perputaran uang dari praktik haram ini telah merugikan negara hingga ribuan triliun. “Kalau hanya diserahkan pada penegak hukum, saya pesimis pemberantasan ini bisa selesai,” tambahnya.

Sementara itu, Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menyindir pernyataan Kapolri yang mengatakan akan mundur jika terbukti terlibat judi online. Menurut Bambang, pernyataan tersebut justru kontraproduktif.

“Secara rasional, siapa anak buah yang berani memeriksa rekening atasannya? Ini sekadar gimik, bukan langkah penegakan hukum,” kata Bambang.

Ia menilai, perang melawan judi online yang dikampanyekan Polri hanya sebatas narasi di media. “Genderangnya memang kencang, tapi perangnya tak terlihat,” sindirnya tajam.

Ahmad Faiz Ibnu Sani, jurnalis Tempo yang sempat melakukan investigasi ke Kamboja, mengungkap adanya dugaan keterlibatan politisi Indonesia dalam praktik judi online lintas negara. Ia menyebut banyak tenaga kerja muda Indonesia yang bekerja di perusahaan digital bayangan di Kamboja.

“Kami sudah mencoba konfirmasi kepada Sufmi Dasco Ahmad soal dugaan kepemilikan bisnis judi online, namun tidak pernah ditanggapi,” jelas Faiz.

Ia menambahkan bahwa pasca terbitnya laporan investigatif Tempo bertajuk “Pengusaha dan Politikus Pengendali Judi Online di Kamboja”, Tempo justru mendapat serangan siber dari beberapa negara.

Jajang Nurjaman, Koordinator Center for Budget Analysis (CBA), mengungkap bahwa perputaran uang judi online pada kuartal I 2024 telah menyentuh angka Rp 600 triliun, dan diprediksi mencapai Rp 1.200 triliun pada 2025.

“Ini bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tapi sudah masuk dalam kategori kejahatan terorganisir dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU),” tegas Jajang.

Ia mendorong DPR RI melalui Komisi III untuk segera menyusun regulasi tegas soal judi online agar Indonesia tidak terus berada dalam “zona abu-abu” hukum.

Erlangga Abdul Kalam, Direktur Forum KiSSNed, menutup diskusi dengan kritik tajam terhadap aparat penegak hukum. Ia menilai ada pembiaran yang terstruktur dan sistematis dalam kasus judi online.

“Dimulai dari pernyataan Kapolri yang tak bisa dipertanggungjawabkan, hingga dugaan kuat bahwa Kabareskrim Polri Wahyu Widada membekingi judi online,” ujarnya.

Erlangga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mereformasi institusi Polri dan memerintahkan penyidikan terhadap nama-nama politisi yang disebut dalam laporan media dan investigasi.

“Panggil dan periksa Sufmi Dasco Ahmad. Tetapkan juga Budi Arie Setiadi sebagai tersangka. Semua instrumen hukum sudah lengkap, tinggal keberanian Polri,” pungkas Erlangga.

Forum KiSSNed berharap, jelang HUT Bhayangkara ke-79, Polri dapat memberikan “kado terbaik” bagi rakyat Indonesia dengan membongkar tuntas praktik mafia judi online yang melibatkan elite kekuasaan. Jika tidak, publik diyakini akan makin kehilangan kepercayaan terhadap institusi penegak hukum.