News  

Ditolak Orang Tua Murid, 14 Anak Dengan HIV/AIDS Pindah Sekolah

Sebanyak 14 anak dengan HIV/AIDS (ADHA) di Solo terpaksa keluar dari sekolahnya karena ditolak orang tua murid. Pemkot Surakarta memindah anak-anak tersebut ke sekolah lainnya. Kepala Dinas Pendidikan Surakarta, Etty Retnowati, memastikan ada sembilan sekolah yang siap menampung ADHA. Anak-anak yang duduk di kelas 1 sampai 4 itu dapat segera mengenyam pendidikan kembali.

“Kemarin kami kumpulkan SD-SD. Ada sembilan SD yang siap menampung. Tapi nama SD-nya tidak kami sebutkan, kasihan anak-anak,” kata Etty ditemui di kantornya, Jumat (15/2/2019). Ketua Yayasan Lentera yang mendampingi ADHA, Yunus Prasetyo, mengaku belum mendapatkan kabar tersebut. Namun jika rencana tersebut benar, Yunus akan bernegosiasi kembali dengan pemkot.

“Kalau dipindahkan ke sembilan sekolah akan menjadi masalah baru lagi. Soalnya tenaga kami sangat terbatas, susah kalau harus mengantar sekolah ke sembilan tempat berbeda. Kami akan negosiasi lagi dengan pemkot,” kata Yunus saat dihubungi detikcom.

Dia mengatakan saat ini ada sembilan pendamping yang bertugas di selter ADHA. Menurutnya, masing-masing pendamping sudah memiliki tugas masing-masing.

“Mereka kan sudah punya tugas sendiri-sendiri. Tidak bisa kalau ikut mengantar tiap pagi. Lagipula sekarang ada 32 ADHA yang harus kita urus,” ujarnya.

Adapun peristiwa penolakan terjadi pada Januari 2019 lalu. Sekitar dua pekan ini, para ADHA hanya belajar di rumah singgah atau selter khusus ADHA di kawasan Taman Makam Pahlawan (TMP) Kusuma Bhakti, Pucangsawit, Jebres, Solo. Yunus juga menceritakan kejadian yang menimpa anak-anak asuhnya di salah satu SD di Laweyan. Penolakan dilakukan orang tua murid dengan melayangkan surat keberatan kepada sekolah.

“Para orang tua murid membuat surat keberatan dengan keberadaan anak-anak kami di sana. Kami langsung berkoordinasi dengan pemerintah,” kata Yunus.
Yunus mengatakan penolakan di sekolah baru terjadi kali ini. Sebelumnya saat bersekolah di SD lain, mereka dapat menempuh pendidikan tanpa gangguan.

Justru kesulitan datang dari pihak lain. Seperti saat di Kelurahan Bumi, mereka tidak diperkenankan memperpanjang sewa rumah. Saat pindah di Kedunglumbu, Pasar Kliwon, mereka mendapatkan penolakan hingga harus kembali ke daerah Laweyan.

Hingga akhirnya pada Desember 2017, 16 ADHA disediakan tempat oleh Pemkot Surakarta di kawasan TMP Kusuma Bhakti. Bahkan tempat tersebut kini diperbesar atas bantuan beberapa perusahaan.

“Sekarang ada 32 anak yang kami asuh, mereka kebanyakan dari luar kota. Sekarang sudah ditambah bangunan bertingkat untuk kamar anak-anak,” kata dia. Yunus berharap pemerintah tidak hanya memberikan rumah singgah yang layak, namun juga hak mendapatkan pendidikan. Yunus ingin ADHA memperoleh haknya tanpa diskriminasi.

“Saya ingin mereka tetap bersekolah di sekolah formal. Tidak boleh ada diskriminasi dengan mereka yang sakit. Homeschooling adalah pilihan paling akhir,” katanya.

Sementara Wali Kota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, menyayangkan adanya penolakan tersebut. Menurutnya memang masyarakat belum tersosialisasi dengan baik mengenai penyakit HIV/AIDS.

“Walaupun penyakit hanya ditularkan lewat hubungan seksual dan jarum suntik, tapi yang namanya masyarakat ya pokoke mboten (pokoknya tidak mau). Memang kita harus bersama-sama menyosialisasikan ini agar masyarakat paham,” ujar Rudy. [detik]