News  

Miris! Guru Besar IPB: Hampir 50 Persen Rakyat Indonesia Alami Kelaparan Tersembunyi

Dunia saat ini dihadapkan pada masalah krisis pangan global dan hal ini memberikan ancaman terhadap terjadinya kerawanan pangan di berbagai negara.

Penyebabnya kompleks, diantaranya perubahan iklim yang mempengaruhi produksi pangan, meningkatnya tensi geopolitik (perang Rusia-Ukraina), konflik sosial di Afrika, serta inflasi yang meningkat tajam di berbagai belahan dunia.

Prof Drajat Martianto, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University menyebutkan bahwa meski kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik, namun terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional.

“Posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi COVID-19. Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition, tiga masalah gizi sekaligus yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro (KGM) atau yang sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger),” ujarnya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar, (15/9).

Menurutnya tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Yaitu berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya.

Ia menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya 1 persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro (yang mengandung karbohidrat). Yang menjadi masalah adalah hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan.

“Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran (yang mengandung zat gizi mikro). Mereka mengalami kelaparan tersembunyi. Disebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, namun sesungguhnya dampaknya sangat besar. Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas,” jelasnya.

Secara nasional, lanjutnya, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari 50 triliun rupiah dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.

“Penganekaragaman pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” ujarnya.

Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen. Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Selama ini, imbuhnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam, Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A (KVA).

“Komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Ini ditunjukkan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun demikian, disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar,” tuturnya.

Ia melanjutkan, implementasi fortifikasi garam beryodium dihadapkan pada masih cukup banyaknya industri garam yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga target universal salt iodization hingga saat ini belum terwujud. Konsumsi garam yang memenuhi syarat juga baru mencapai 77 persen rumah tangga.

“Sementara itu, implementasi fortifikasi wajib vitamin A pada minyak goreng sangat dinamis, dipengaruhi oleh beragam tantangan. Mulai isu importasi retinil palmitat versus penggunaan beta karoten, isu beban bagi industri minyak di saat terjadi disparitas harga domestik dan internasional yang besar, isu lingkungan terkait perubahan dari minyak curah ke minyak kemasan dan sebagainya,” imbuhnya.

Sedangkan, fortifikasi terigu juga dihadapkan pada isu importasi fortifikan dan gandum sebagai pangan pembawa (vehicle) yang nyaris 100 persen impor, hambatan perdagangan serta efektivitas zat besi yang digunakan yang masih memerlukan bukti ilmiahnya di lapang.
“Untuk melengkapi fortifikasi wajib diperlukan strategi fortifikasi pangan skala kecil (small-scale fortification) pada pangan pokok seperti sagu, tepung jagung, tepung ubi kayu/mocaf dan minyak kelapa, minyak curah sawit. Strategi ini untuk menjamin agar tumbuh kembang anak Indonesia di setiap pelosok tanah air bisa berjalan optimal,” ujarnya.

Ia menambahkan, sebagai negara produsen beras terbesar ketiga di dunia fortifikasi beras untuk distribusi kelompok khusus (bantuan sosial, bantuan bencana alam) maupun voluntary secara komersial perlu dikaji lebih mendalam.

“Pertimbangannya, prevalensi AGB di Indonesia masih tinggi dan tidak hanya diderita rumahtangga miskin, sehingga diharapkan dapat efektif mencakup semua populasi karena beras dikonsumsi hampir semua orang Indonesia,” pungkasnya. (Sumber)