News  

Shadow Economy: Transaksi Keuangan Tak Tercatat di RI Bisa Tembus Rp.5.000 Triliun

Tak semua perputaran uang di Indonesia tercatat dalam sistem transaksi, sehingga menimbulkan adanya shadow economy.

Kepala Komite Eksekutif Pengawasan Perbankan pada Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, mengungkapkan potensi shadow economy di Indonesia ditaksir mencapai 30 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

“Besarnya shadow economy atau transaksi keuangan yang tidak tercatat ini menjadi salah satu tantangan regulasi sistem perbankan,” kata Dian Ediana Rae dalam FGD OJK dengan media di Bandung, Sabtu (24/9).

Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) itu menjelaskan, kisaran 30 persen dari PDB merupakan angka rata-rata shadow economy di negara berkembang. Termasuk seperti di Indonesia.

Sementara itu PDB Indonesia dasar harga berlaku tahun 2021 mencapai Rp 16.970,8 triliun, sehingga nilai 30 persen shadow economy hampir mencapai Rp 5.000 triliun. Jumlah itu artinya 1,7 kali lipat dari belanja APBN 2022 yang sebesar Rp 3.106 triliun.

Dian mengkategorikan shadow economy ke dalam dua jenis. Pertama, transaksi-transaksi yang tidak dilaporkan (unreported), meskipun legal. Dia mencontohkan, sektor informal dan usaha mikro yang jumlah entitas usahanya mencapai puluhan juta. Tapi mereka belum terdaftar atau tercatat, sehingga perputaran transaksi uangnya tidak masuk pencatatan sistem.

Kedua, transaksi yang tidak dilaporkan karena memang ilegal. Seperti judi online, bisnis prostitusi, pinjol ilegal, serta perputaran uang dari bisnis narkoba.

“Ini bisa berbahaya. Ada 18 jenis kejahatan ekonomi yang bisa mengancam sistem perbankan kita. Mereka memanfaatkan celah-celah dari aspek teknologi, kelemahan sistem, ketiadaan regulasi. Makanya untuk membereskan shadow economy ini harus ada regulasinya,” ujar doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia itu.

Menurutnya, negara juga mengalami kerugian dari besarnya shadow economy itu karena kehilangan potensi untuk memungut pajak dan penerimaan negara. Karena tidak dilaporkan dan tidak tercatat, jadi tidak bisa dipajaki.

“Selain dibutuhkan regulasi yang mengatur hal itu, juga diperlukan penegakan hukumnya. Menurutnya saat ini pemerintah sedang menyiapkan satgas khusus untuk menangani kejahatan ekonomi. Itu semacam Densus 88 bidang ekonomi gitu lah,” kata Anggota Dewan Komisioner OJK itu.(Sumber)