News  

Menkes Budi Gunadi Sadikin Sentil Orang Kaya Berobat Pakso BPJS, Jadi Beban Negara

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, membeberkan kalau BPJS Kesehatan selama ini harus menanggung beban pengobatan orang-orang yang tergolong kaya, bahkan ada di antaranya yang termasuk golongan konglomerat alias orang super kaya.

Menurut Budi, mendeteksi peserta BPJS Kesehatan dari golongan kaya raya sebenarnya cukup mudah. Dari bermodalkan nomor NIK KTP, bisa ditelusuri pengeluaran kartu kredit hingga tagihan listrik rumahnya.

Semakin kaya orang, semakin banyak pengeluaran yang terdeteksi. Menurut dia, tak seharunya mereka yang termasuk golongan kaya raya ikut menikmati layanan kesehatan dan tidak membebani keuangan BPJS Kesehatan.

“Saya sendiri nanti mau ngomong sama Pak Ghufron (Direktur Utama BPJS Kesehatan), saya mau lihat 1.000 orang yang expense-nya di BPJS, saya mau tarik datanya,” kata Budi dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Menkes yang disiarkan secara virtual, Rabu (23/11/2022).

“Saya mau lihat tagihan PLN bayarnya berapa kVA (kilovolt ampere), kalau kVA nya udah di atas 6.600 ya pasti itu adalah orang yang salah (tidak seharusnya ditanggung BPJS Kesehatan),” ujar Budi lagi.

Meski dinilai kurang etik, lanjut Budi, perilaku orang kaya yang berobat menggunakan BPJS Kesehatan tak sepenuhnya melanggar aturan.

Lantaran memang layanan di BPJS Kesehatan belum mengakomodir untuk semua kelas ekonomi. “BPJS Kesehatan mau dibikin sustainable memang kelasnya harus standar dan 1.

Kita layani seluruh masyarakat Indonesia dengan menggunakan (konsep) universal health coverage (semua penduduk mendapatkan layanan kesehatan),” tutur Budi. Agar lebih mudah melakukan monitor, untuk tahap awal, ia akan memerintakan BPJS Kesehatan untuk mengelompokkan 1.000 orang peserta BPJS yang selama ini melakukan pengobatan dengan klaim paling besar.

“Saya dengar, seringkali orang-orang yang dibayar besar (dari klaim BPJS Kesehatan) itu banyaknya, mohon maaf konglomerat, orang-orang ini juga (peserta dari orang kaya),” ucap mantan Dirut Bank Mandiri itu.

“Saya minta Dewan Pengawas BPJS melakukan risk management-nya yang lebih rinci, periksa. Itu siapa yang top one thousand paling banyak, kita lihat siapa spending-nya paling banyak habis,” kata Budi.

“Itu paling gampang dilihat dari NIK dan listrik, kalau nggak sama limit kartu kredit itu bisa dilihat, karena itu bukan orang yang tepat kita bayarin,” tambah dia.

Iuran tak naik Masih di kesempatan yang sama, Budi menyebut kalau pemerintah tidak akan menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan hingga tahun 2024 mendatang.

Budi mengatakan, pada dasarnya saat inflasi yang naik biasanya diikuti kenaikan premi asuransi. Namun, secara politik kenaikan tarif premi iuran BPJS Kesehatan kemungkinan masih belum dapat diterima.

“Secara politik kan susah menerima (kenaikan tarif), sehingga Bapak Presiden yang minta kalau bisa jangan naik sampai 2024. Sehingga kita jaga benar sampai 2024 posisi politik pemerintah adalah ini tidak naik,” kata Budi dikutip dari Kontan.id.

Namun, disisi lain pemerintah akan melakukan revisi tarif jaminan kesehatan nasional (JKN) dalam Perpres Nomor 82/2018 dan Permenkes Nomor 52/2016.

Revisi mengenai penyesuaian tarif kapitasi dan Indonesia case base Groups (INA-CBG’s). Budi mengatakan, revisi Perpres Nomor 82/2018 ditargetkan rampung Desember nanti.

Kemudian revisi Permenkes Nomor 52/2016 ditargetkan selesai November ini. Revisi dua aturan tersebut lantaran sejak tahun 2014 belum ada penyesuaian tarif kapitasi dan sejak 2016 belum ada penyesuaian tarif INA-CBG’s.

Padahal seharusnya, review aturan dilakukan setiap tahun dan setiap dua tahun dilakukan peninjauan untuk penyesuaian tarif.

“Hitungan kami sebenarnya dengan menaikkan INA-CBG’s ini, sampai tahun 2025 kondisi keuangan BPJS masih bisa meng-cover kekuatan ini.

Sehingga nanti diharapkan pada tahun 2025 memang harus kenaikan tarif yang menurut saya memang wajar,” kata Budi.(Sumber)