News  

Telan Anggaran Rp.4,17 Triliun, Payung Hukum Program Regsosek BPS Dinilai Tak Jelas

Nasib program Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) yang dijalankan Badan Pusat Statistik atau BPS kini terombang-ambing.

Data yang BPS kumpulkan berpotensi tak terpakai usai Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) ke Bappenas yang isinya mengembalikan Rancangan Peraturan Presiden tentang Reformasi Sistem Perlindungan Sosial yang bakal jadi payung hukum program Regsosek.

Aturan Regsosek harus dirumuskan ulang
Dalam surat yang diteken Pelaksana tugas Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Dhanana Putra atas nama Menteri Hukum dan HAM tertanggal 26 Oktober 2022 itu disebutkan Kementerian meminta naskah beleid itu dirumuskan ulang sesuai dengan arahan Presiden RI sesuai rapat internal tanggal 12 Oktober 2022.

“Pengaturan mengenai sistem perlindungan sosial perlu disusun kembali pengaturannya agar tidak bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan lainnya,” begitu tertulis dalam surat yang Tempo terima salinannya.

Ketika dikonfirmasi mengenai surat tersebut, Dhanana tak banyak berkomentar. Dia menjawab singkat bahwa rancangan peraturan dikembalikan ke Bappenas untuk disempurnakan lagi. “Agar proses harmonisasi terhadap Raperpres tersebut, yang dilakukan Ditjen Peraturan Perundangan-undangan, terlaksana dengan baik,” tuturnya.

Sementara itu, Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama Kemenkumham, Hantor Situmorang, menambahkan pengembalian rancangan beleid itu bukan berarti program Regsosek batal. Ia menjelaskan, hasil rapat saat harmonisasi hanya menyepakati agar pengaturan soal Regsosek disusun ulang. “Penyusunan norma ulang itu harus Bappenas yang melakukannya.”

Adapun sumber Tempo yang mengetahui pembahasan peraturan presiden ini menuturkan sikap Kemenkumham dipicu penolakan terhadap program Regsosek. Salah satu yang paling keras menentang adalah Kementerian Sosial. Menteri Sosial Tri Rismahari menolak menandatangani persetujuan atas beleid tersebut.

Menurut dia, Kementerian Sosial berpandangan bahwa Regsosek tidak perlu dilakukan lewat sensus baru yang memakan anggaran Rp 4,17 triliun.

Pasalnya, pemerintah sudah memiliki Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dikelola Kementerian Sosial hingga data kependudukan di Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Artinya bisa dilakukan tanpa harus mengeluarkan biaya,” tuturnya.

Selain itu, data DTKS dan BKKBN dianggap sudah cukup mutakhir untuk dijadikan acuan program-program pemerintah. Sementara data yang dikumpulkan BPS belum jelas rencana pemutakhirannya. Di sisi lain, BPS baru mengolah data yang dikumpulkan akhir tahun ini pada 2023.

Sumber Tempo lainnya di pemerintahan mengatakan payung hukum program Regsosek juga jadi alasan penolakan. “Regsosek yang sekarang sudah dimulai itu belum punya landasan hukum. Belum ada aturan khusus yang mengatur soal Regsosek,” ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Keuangan telah menyetujui anggaran untuk program Regsosek dengan total nilai Rp 4,17 triliun.

Dana Regsosek sempat diblokir

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata menilai program ini sudah memiliki landasan hukum yang cukup. Meski sebelumnya dana tersebut sempat diblokir.

Dari surat-surat yang Tempo lihat, anggaran Regsosek tahun 2022 sempat diblokir lantaran Rancangan Peraturan Presiden tentang Reformasi Sistem Perlindungan Sosial belum disetujui. Dari surat yang Tempo lihat, Kementerian Keuangan menyatakan akan menahan dana tersebut sampai beleidnya terbit.

Namun kemudian Kementerian memberi restu Regsosek pada Agustus lalu padahal aturannya belum disetujui, bahkan sekarang dikembalikan untuk disusun ulang.

“Dalam perkembangannya, BPS menyatakan ada dasar hukum yang cukup untuk hal tersebut, yaitu UU Statistik dan PP turunannya. Dengan demikian, kebutuhan landasan hukum terpenuhi dan blokir bisa dicabut,” ujar dia.

(Sumber)